Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Petani Seni dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Daerah di Aceh: Krisis dan Jalan Revitalisasi

12 September 2025   22:17 Diperbarui: 13 September 2025   08:59 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bahasa Basque di Spanyol Utara pernah ditekan keras pada masa rezim Franco, dianggap ancaman bagi persatuan nasional. Akibatnya, jumlah penutur fasih menurun drastis. Namun sejak 1990-an, gelombang kebangkitan terjadi. Pada 1991, hanya 25% penduduk Basque yang fasih; tiga dekade kemudian, pada 2021, jumlah itu meningkat menjadi 36%. Lonjakan ini lahir dari kebijakan pendidikan dwibahasa, hadirnya media berbahasa Basque, serta pengakuan resmi pemerintah daerah. Bahasa Basque kembali digunakan di sekolah, televisi, papan nama jalan, hingga panggung seni—menjadikannya simbol kebanggaan kolektif.

Kisah serupa terjadi di Aotearoa. Bahasa Mori di Selandia Baru sempat terdesak akibat kolonialisme dan dominasi bahasa Inggris, tetapi komunitas Mori bangkit melalui inisiatif Kohanga Reo, prasekolah berbasis bahasa ibu. Anak-anak sejak dini dibesarkan dalam lingkungan berbahasa Mori, yang kemudian diperkuat dengan media nasional: berita, film, dan program hiburan dalam bahasa lokal. Perlahan, bahasa ini memperoleh vitalitas baru. Kini, bagi banyak generasi muda, Mori bukan sekadar bahasa leluhur, melainkan lambang identitas dan kebanggaan.

Bahasa Hawaiian di Amerika Serikat bahkan pernah berada di ambang kepunahan pada pertengahan abad ke-20. Hampir tak ada lagi anak-anak yang tumbuh dengan bahasa ini. Namun dalam beberapa dekade terakhir, kebangkitan terjadi: sekolah imersi bahasa Hawaiian didirikan, siaran radio lokal diproduksi, dan aplikasi digital berbahasa Hawaiian dikembangkan. Dari situ, bahasa yang dulunya hampir hilang kini kembali menjadi bagian kehidupan sehari-hari.

Dari tiga pengalaman ini, kita bisa menarik satu benang merah: revitalisasi bahasa hanya mungkin terjadi bila ada pengakuan formal, integrasi dalam pendidikan, kehadiran di media, dan kebanggaan komunitas. Tanpa keempat pilar ini, bahasa hanya bertahan sebagai nostalgia. Tetapi dengan dukungan yang konsisten, bahasa mampu bangkit, bahkan menjadi motor penguat identitas dan daya hidup budaya.

Apa yang terjadi di Basque, Mori, dan Hawaiian membuktikan bahwa kebangkitan bahasa adalah hasil dari keberanian politik, kreativitas komunitas, dan ketekunan lintas generasi. Dari sini, Aceh bisa belajar: bahasa ibu tidak harus lenyap, selama ada kesediaan kolektif untuk menjadikannya hadir kembali di sekolah, media, dan ruang sosial sehari-hari.

Rekomendasi Strategis untuk Aceh

Revitalisasi bahasa daerah di Aceh tidak akan berhasil jika hanya diperlakukan sebagai romantisme budaya. Ia membutuhkan strategi konkret, terukur, dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat—dari pemerintah hingga komunitas, dari ruang sekolah hingga ruang digital. Ada empat langkah utama yang dapat menjadi fondasi jalan ke depan.

a. Pengakuan Formal dan Legitimasi

Langkah pertama adalah pengakuan resmi terhadap bahasa daerah melalui kebijakan daerah, kurikulum muatan lokal, dan regulasi pendidikan. Bahasa yang diakui pemerintah memperoleh legitimasi politik sekaligus simbolik. Status ini menjadikannya bukan sekadar warisan budaya, melainkan hak warga untuk diakses dan digunakan.

Pengakuan formal juga membuka jalan bagi dukungan nyata: alokasi anggaran, pelatihan guru, penyediaan buku ajar, hingga infrastruktur pembelajaran. Tanpa legitimasi semacam ini, bahasa daerah akan terus kalah bersaing dengan bahasa nasional maupun global yang memiliki dukungan institusional jauh lebih kuat.

b. Integrasi dalam Pendidikan dan Media

Bahasa daerah harus hadir di ruang yang paling membentuk kebiasaan generasi muda: sekolah dan media. Sekolah dasar bisa memulai dengan pelajaran bahasa lokal seminggu sekali, sementara madrasah dan pesantren dapat menghidupkan kembali hikayat, syair, atau cerita rakyat dalam pengajaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun