Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Saat Aku Menyandarkan Tubuhku pada Tiang Peron Stasiun Itu

22 Maret 2023   08:02 Diperbarui: 22 Maret 2023   08:23 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiang besi. Tiang besi begitu kuat menyangguh tubuhku. Tidak sadar dalam sisa waktu lunglai terbungkus waktu, ragaku kelu dan tertutup ragu. Meski menunggu urung bertemu, dia yang aku nantikan tak kunjung ada.

Waktu kian begitu sulit terbendung, berjalan semakin cepat mereggut usia-usia yang semakin tak sadar terus merenta. Setiap hari, setiap waktu tak usai perjalanan memperpanjang harap. Sekuat tenaga tersisa, terus menuju, di sana pada masa yang tak terelakkan juga. 

Ujung pagi ketika cahaya timur menandai pagi, perjalanan itu dimulai, setiap hari tanpa akhir sampai hari ini. Setiap sore, ketika redup cahaya mulai tersembunyi, perjalanan belum usai, dan aku harus terus memastikan langkah tak selesai. Sisa-sisa tenaga itu, hanya sanggup tersungkur di sebuah tiang peron stasiun itu. Lunglai. Namun, aku belum selesai. 

Kisah pilihan 

Setiap hari, stasiun itu menjadi saksi, tentang anak manusia yang terus mencari dan mempertahankan segala daya. Meski pujian-pujian tak berharap, terus bekerja adalah sebuah pilihan. Meski, harus berdiri dan berlari di antara ratusan manusia, berbagai tujuan, berbagai impian. Stasiun itu menyisakan kisah dalam banyak pilihan. 

Melihat ratusan manusia-manusia dalam berbagai rupa mengejar batas-batas kota, tak berujung, tak berbatas. Jauh, terus menjauh, sampai lupa segala tak akan selesai sampai ujung keramaian itu tiba. Setiap malam, tetap saja lalu-lalang manusia bergantian menerobos peron dan tangga-tangga stasiun. Gerbong-gerbong itu tak lagi menyisakan sandaran untuk aku yang semakin merenta. 

Aku melewati stasiun ini, dia melawati stasiun ini, kita setiap hari melewati stasiun ini. Berjumpa dalam diam dan tanpa sebersik kata. Stasiun ini akan membawa kita pada jalur yang sama, tujuan yang sama. Kita menyerahkan segala nasib dan impian pada seonggok besi yang selalu menapakkan pada besi-besi yang lain. Kita menyerahkan sebagian impian-impian kita pada sebongkah besi, dimana aku selalu menyandarkan sisa napasku. Aku sandarkan jiwaku pada peron stasiun itu. 

Pada tiang itu

Di stasiun ini, aku terus melewati waktu. Di stasiun ini, aku terus menunggu, pada dia yang selalu mendengar dan menyapaku. Dia, bukan sahabat yang tiba-tiba menjadi kerabat. Dia, bukan kawan yang tiba-tiba mendengar lamunanku. Dia, bukan yang aku cintai, tapi menjadi teman kala aku musti menanti.  Pada tiang itu, aku akan tetap bersandar selalu.

Stasiun ini bukan hanya menjadi tempat aku mesti menuju tujuan, berebut tempat, menguji persahabatan. Stasiun ini tetap menjaga aliran darahku, menjaga derap jantungku,  agar tetap tertahan dan sanggup menggerakkan seluruh tubuhku.  Pada tiang peron stasiun itu, sejenak aku sandarkan kekesalanku dan kelelahanku.  

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun