Manusia kerdil. Kerja keras setiap manusia pasti membuahkan makna. Bukan hanya sebagai benda-benda yang setiap hari semakin tak berharga, setiap tetes keringat menjadikan kebaikan menjalar menerobos ketidakadilan atas sesama. Â
Ketika manusia-manusia bekerja begitu keras, memeras keringat dan air mata, selalu saja ada manusia-manusia yang serakah menelan  tenaga manusia sekitar. Bukan hanya berbalut  keserakahan, kehidupannya memang telah dipenuhi kedengkian tercela. Apapun yang diperbuatnya hanya untuk memenuhi diri, memoles diri seolah manusia lain hanya pemenuh janji. Ruang-ruang keserakahan selalu ada dan selalu menjadikannya semakin buas.Â
Singa dan Hiena
Kebuasan seekor Singa  selalu dimulai dengan mengejar mangsa dengan seluruh tenaganya, dengan upaya  keras pantang menyerah. Tidak semua santapan di santap, tidak semua makanan dimakan, dia tahu kapan musti makan, kapan perlu membagikan dalam sekawanan yang perlu makan, kapan musti mendiamkan. Dia tahu, perjalanan hidupnya tak akan terhenti sampai pada dia sendiri. Sang anak akan menunggu, sang cucu harus hidup, terus berlanjut dan dia akan hilang tertelan bumi selamanya. Kebuasannya terbatas pada usia dan tanggungjawabnya.Â
Singa begitu bermusuhan dengan hiena. Singa menganggap Hiena ada perusak sistem di alam terbuka. Hiena dianggap sebagai perebut usaha. Dia tidak bisa bekerja keras, maka makanan yang dia dapat selalu direbutnya dari hewan lain yang bekerja keras. Dia tidak sendiri tetapi bersama gerombolannya mengusir Singa yang peroleh makan di hari ini. Singa selalu tertipu, Singa pun terpaksa selalu mengalah, ketika gerombolan Hiena mulai mendekat dan mengendus mangsanya. Karena dia tahu, ketidakmampuan Hiena mencari mangsa menjadi ciri kebodohannya. Dia tidak mampu menangkap mangsanya, hingga bangkai-bangkai sisa yang dimakannya.Â
Manusia kerdil
Manusia kerdil bekerja keras bukan hanya untuk mempertahankan hidup seperti halnya Singa dan Siena. Kebutuhan pengakuan akan nilai dan harga dirinyalah yang mendorong segala peertunjukan dimulai. Segala kekuasan, segala kepunyaanya seolah hanya dia yang berpunya. Dia mampu bekerja, dia mampu berpunya, dia mempunyai segalanya, tidak akan orang lain yang sama seperi dia. Manusia-manusia kerdil itu selalu meninggikan apa yang dia pula. Jika dia tidak punya, seperti halnya Hiena, dia akan merebut segala usaha dan kerja keras si dia yang bekerja dan memeras keringat begitu keras.Â
Jejak-jejak manusia kerdil, serakah akan terhenti. Berapa banyak korupsi, manipulasi, kolusi dan juga nepotisme yang melahirkan pejabat, pengusaha, karyawan, dan masyarakat lain yang akhirnya tamat. Selesai menunjukkan dirinya, selesai juga pertunjukan tentang dirinya. Penjara selalu mengakhiri kisah hidupnya. Bukan hanya tentang orang-orang biasa, tetapi tentang pejabat dan penguasa yang meringkuk di penjara. Karenah akihat keserakahan selalu ada batasnya. Â
Seperti keserakahan Hiena, keserahakan manusia itu tidak mungkin sendiri. Gerombolan keserahakan selalu akan berjejak jelas. Bukti-bukti setiap kejahatan terendus lengkap karena setiap manusia yang serakah pasti lupa menutupi jejak, lupa menghapus jejal, lupa membakar berkas-berkas. Tidak ada keserakahan yang tidak meninggalkan jejak.Â
Meredup