Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sudut Pandang Filsafat Atas Kesombongan Manusia

29 Agustus 2024   01:08 Diperbarui: 29 Agustus 2024   01:08 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kartun yang menggambarkan kesombongan manusia. (Sumber: Bizarro.com)

Kartun ini menggambarkan seorang pria bernama Adam yang duduk di tanah dengan latar belakang yang hancur, seolah-olah ada kehancuran besar yang terjadi. Di atasnya, terdapat tangan besar yang mewakili Tuhan, menunjuk ke arah Adam sambil berkata, "Jadi, Adam---bagaimana teori 'di puncak rantai makanan' itu bekerja untukmu?"

***

Dalam kartun yang menggambarkan Adam yang duduk di tengah kehancuran, disertai dengan pertanyaan sarkastik dari Tuhan, "Bagaimana teori 'di puncak rantai makanan' itu bekerja untukmu?" terdapat kritik mendalam terhadap kesombongan manusia. Kartun ini tidak hanya menggambarkan kehancuran fisik, tetapi juga menyingkap isu filosofis tentang posisi manusia dalam tatanan kosmik, khususnya dalam perspektif filsafat agama.

Filsafat agama telah lama memperdebatkan hubungan antara manusia dan alam. Salah satu teori penting adalah "Imago Dei" dalam tradisi Kristen, yang menyatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Tuhan (Kejadian 1:26-27). Teori ini memberikan manusia status istimewa dalam ciptaan, yang seringkali disalahartikan sebagai lisensi untuk mendominasi alam tanpa tanggung jawab. Dalam konteks ini, kartun tersebut mengeksplorasi ironi bahwa meskipun manusia diciptakan menurut gambar Tuhan, kesombongan mereka dalam menganggap diri mereka sebagai 'puncak rantai makanan' bisa berujung pada kehancuran yang mereka sebabkan sendiri.

Penting juga untuk menyoroti pemikiran filsuf modern seperti Martin Heidegger, yang dalam karyanya "The Question Concerning Technology" menekankan bahwa manusia telah berubah dari 'penjaga bumi' menjadi 'penakluk alam'. Heidegger berargumen bahwa dalam kesombongan mereka, manusia telah terjerumus ke dalam 'Gestell', suatu kerangka berpikir yang melihat alam sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Pandangan ini telah mengakibatkan apa yang kita saksikan sebagai krisis ekologis global.

Filsuf Prancis, Michel Serres, juga memberikan perspektif kritis terhadap hubungan manusia dengan alam. Dalam bukunya "The Natural Contract," Serres menyerukan perlunya kontrak baru antara manusia dan bumi, mengingat bahwa kesombongan manusia yang menganggap diri mereka sebagai penguasa alam telah merusak hubungan simbiosis yang seharusnya ada. Serres mengingatkan bahwa bumi tidak lagi dapat ditaklukkan tanpa memikirkan konsekuensinya, dan manusia harus mengakui keterbatasan mereka dalam memahami dan mengelola alam.

Lebih jauh lagi, perspektif Islam dalam filsafat agama menekankan konsep "Khalifah", di mana manusia ditempatkan sebagai wakil Tuhan di bumi dengan tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara ciptaan. Namun, banyak teolog dan filsuf Muslim, seperti Seyyed Hossein Nasr, telah mengkritik bahwa manusia modern sering kali melupakan aspek tanggung jawab ini, dan lebih fokus pada aspek dominasi. Nasr menekankan bahwa kesadaran spiritual terhadap alam sebagai ciptaan Tuhan adalah kunci untuk memulihkan harmoni antara manusia dan alam.

Kartun ini, dengan demikian, memprovokasi refleksi mendalam tentang bagaimana konsep 'puncak rantai makanan' telah disalahpahami dan disalahgunakan oleh manusia. Alih-alih menjadi penjaga bumi yang bijaksana, manusia telah menjadi perusak yang sombong, dan kartun tersebut menyiratkan bahwa ada konsekuensi serius yang menunggu jika kita tidak segera mengubah cara pandang dan tindakan kita terhadap alam.

Secara filosofis, ini bukan hanya masalah ekologis, tetapi juga masalah etika dan spiritualitas. Kesadaran akan keterbatasan manusia, seperti yang ditekankan oleh para filsuf dan tradisi agama, seharusnya membawa kita pada pemahaman bahwa dominasi yang tidak terkendali atas alam tidak hanya tidak berkelanjutan, tetapi juga merupakan pengkhianatan terhadap tugas suci yang diembankan kepada manusia sebagai penjaga ciptaan. Oleh karena itu, kita perlu meredefinisi posisi kita di alam ini, bukan sebagai penguasa yang sombong, tetapi sebagai pelayan yang rendah hati, yang memahami dan menghargai keseimbangan yang rapuh antara manusia dan lingkungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun