Mohon tunggu...
Aria A. Ananta
Aria A. Ananta Mohon Tunggu... Freelancer - Sahabat yang Mengenyangkan

Ketemu di dunia nyata njih

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah Terakhir (Remake)

8 Januari 2016   17:10 Diperbarui: 8 Januari 2016   17:41 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mentari nampaknya tersipu malu kepadaku.  Bagaimana tidak, sudah lebih dari tiga puluh menit aku memandanginya, menunggunya kembali ke peraduannya.  Cahayanya perlahan memudar, menyadarkanku bahwa hari semakin senja.  Dalam beberapa menit, waktu Sholat Maghrib pun akan tiba.  Bergegas ku habiskan kopi hitam buatan ibuku dalam satu tegukan.  Menikmati secangkir kopi di penghujung senja seperti ini, adalah hal yang paling kusuka.  Setelah selama setengah hari penuh, aku membantu ibuku di pasar.  Ya, sejak ayahku pergi meninggalkan kami di desa kecil ini, ibu lah yang menjadi tulang punggung keluarga kami. 

Bermodal ketrampilan memasak yang diturunkan oleh nenek ku, ibu berusaha menyambung hidup keluarga kami dengan membuka warung makan di pasar.  Terkadang selain membantu ibu membawa makanan yang telah dimasak dan menjaga warung, aku juga sering disuruh ibu untuk menjual daun pisang dari kebon milik keluarga besar ibu di belakang rumah. Sejak kepergian ayahku, ekonomi keluarga kami terasa begitu berat.  Tetapi untunglah, aku adalah anak satu – satunya di keluarga ini.  Aku selalu ingin bertemu dengan ayah.  Ingin ku memintanya untuk kembali ke desa ini, menemani ibuku di usia nya yang semakin tua.  Dulu ibu pernah bercerita tentang siapa sebetulnya ayahku, namanya, dan ciri – ciri yang dimilikinya.  Namun tak pernah sekalipun, aku menemui orang seperti yang ibu ceritakan. 

“Daaaaaan ..! sudah mau maghrib tu !” teriak ibu tiba – tiba dari dalam.

Aku tersentak.  Lamunan ku buyar seketika.  Aku baru sadar, ternyata langit pun sudah semakin gelap.  Aku harus segera bersiap ke mushola.  Dan benar, ibu menghampiriku dengan muka sedikit masam.

“Mahgrib – maghrib kok nglamun ! sampe udah gelap gini, masih inget Allah kan ?!”

“eh ibu, hehe i..iya bu, Akhdan lupa.  Aku berangkat dulu ya bu ! assalamualaikum !!”

Sambil masih setengah gugup dan bingung, aku sampirkan sarung ke pundak ku. Lalu beranjak pergi dari rumah.  Masih geli hatiku karena lamunan indahku dipecahkan oleh teriakan ibu.

“waalaikumsalam warohmatullah ..! dasar anak laki - laki hmm”

Walaupun suara adzan belum terdengar hingga ke rumahku, aku memang harus datang lebih awal ke mushola itu.  Karena hanya ada beberapa anak muda di desa ini, dan aku lah yang diberi amanah untuk adzan sepanjang sholat 5 waktu.  Dan benar, sampai di mushola, belum ada siapapun.  Waktu Maghrib pun masih kurang sekitar 3 menit.  Segera ku ambil air wudhu, menyalakan lampu – lampu, dan ku sapu sedikit bagian dalam dan luar mushola.  Tiba – tiba Pak Abdullah datang.  Beliau adalah salah satu orang yang disegani di desa kami, kepiawaiannya dalam menghapal beberapa hadits membuatnya menjadi deretan orang yang kami anggap sesepuh.  Walaupun ada lagi seseorang yang lebih dituakan daripada Pak Abdullah.

“Assalamualaikum, di-adzani sekarang saja mas.  Sini, biar saya yang bersih – bersih”

 “Eh waalaikumsalam warohmatullah. Iya pak, ini sapunya”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun