Bang Fadli mulai lagi dengan gaya cari mukanya di depan Ibu. Senyam-senyum ramah sok berbakti pada Ibu. Padahal, selama ini ia sudah memperlakukan Ibu tidak adil. Sungguh eneg aku melihat tingkahnya.
"Bu, di momen ulang tahun Ibu ini, aku mau ngasih kejutan. Aku ada hadiah yang pasti Ibu suka," ujar Bang Fadli serius.
'Huh! Pede amat! Paling cuma mau ngasih kado berisi barang KW,' sinisku dalam.hati. Aku benar-benar muak.
"Hadiah untuk Ibu? Kejutan? Wah... apa ya?" Ibu terlihat senang dan antusias.
"Jadi, gini, Bu... selama ini sebenarnya aku sedang berusaha hemat dan menabung sebanyak-banyaknya. Itu lah makanya aku tak pernah membelikan Ibu barang mahal. Supaya uang terkumpul lebih cepat. Dan, sekarang uang itu sudah cukup."
Bang Fadli mengeluarkan sesuatu dari saku celanannya. Sebuah buku kecil.
"Ini, Bu... buku rekening, isinya lebih tiga puluh juta. Ibu pakai lah untuk berangkat Umrah. Dulu Ibu pernah bilang sangat ingin pergi Umrah kan? Nah... Besok Ibu bisa mendaftar dan sekalian melunasinya. Ibuku sudah pernah pergi sebelum aku dan Siska nikah. Sekarang saatnya Ibu yang berangkat. Aku ingin ibu dan mertuaku sama-sama pernah merasakan beribadah di Tanah Suci."
Ibu terkesiap. Kaget luar biasa. Tak menyangka mendapat "kado" yang memang sangat Beliau idam-idamkan dari sang menantu.
Tangis haru Ibu pun akhirnya pecah.
Sedangkan aku, malu tak terkira dan merasa telah berdosa besar karena durhaka pada suami. Selama ini aku berprasangka buruk dan sering mengumpatnya, meski cuma dalam hati.