Tiba di salah satu lapak, dia langsung memilih-milih. Aku hanya memperhatikan.
Rupanya dia juga memngambil satu gamis dan beberapa jilbab. Jumlah dan itemnya persis seperti belanja untuk ibunya tadi.
Ia juga memilih warna yang persis sama. Ukurannya pun dia ambil sama dengan ukuran ibunya. Postur Ibu dan mertuaku memang hampir sama.
Tanpa menawar, Bang Fadli langsung membayar. Total belanja seratus lima puluh ribu. Penjualnya memasukkan barang ke kresek belang hitam putih lalu menyodorkannya ke tangan Bang Fadli.
Setelah menerimanya, Bang Fadli langsung menyerahkannya kepadaku.
"Nih, Sis... simpan. Minggu depan kita kasih ke Ibumu."
Kuambil kresek itu dengan merenggutkannya agak kasar. Aku benar-benar sebal. Segitunya Bang Fadli membeda-bedakan ibu dan mertuanya. Hatiku geram, tapi apa boleh buat, aku tahan saja. Jika protes, takut nanti diomeli, dibilang istri yang tak pandai bersukur dan tak tahu terimakasih.
*****
Aku tak tega menyerahkan barang-barang murahan itu untuk Ibu. Tapi, di sisi lain, aku juga bingung kalau nanti Bang Fadli menanyakannya.
Akhirnya, diam-diam, aku pergi sendiri ke butik. Membeli barang-barang persis seperti yang dibelikan Bang Fadli untuk Ibunya. Budget untuk belanja skincare bulan ini terpaksa kukorbankan.
Sedangkan barang lapak kaki lima, ku kasih ke Marni, tetangga sebelah. Seorang janda beranak dua yang bekerja sebagai buruh cuci.