"Alhamdulillaah... syukurlah kalau Ibu, suka." Bang Fadli tersenyum lebar.
'Huh! Ya iyalah Ibu suka! Itu barang butik, tau! Dasar suami tak peka!' umpatku gemas dalam hati.
Dari posisi duduknya, Bang Fadli memang tak akan bisa membedakan barang kaki lima dangan barang butik. Karena model dan warnanya memang sama.
*****
Sejak itu, Bang Fadli makin getol membelikan Ibuku barang-barang murahan. Ia termotivasi karena melihat reaksi Ibu yang ternyata sangat suka dengan gamis dan jilbab yang ia kasih, meski murah. Jadi, untuk apa beli yang mahal-mahal? Begitu mungkin pikirnya.
Ketika ia membelikan ibunya sepatu, ibuku juga dibelikan. Begitu juga tas, jam tangan, dan lain-lain. Ibuku pasti juga selalu ia belikan. Tapi, semua barang murahan.
Yang bikin aku repot tentunya jika ia membelikan baju atau jilbab lagi. Pasti aku ganti dengan yang bagus. Karena aku tak tega membiarkan Ibu mengenakan pakaian murahan. Konsekwensinya, aku aka  mengorbankan pos pengeluaran yang lain. Biasanya anggaran untuk membeli kosmetik.
Aku juga bingung memikirkan, bagaimana caranya menyadarkan suamiku supaya bisa bersikap adil pada ibu dan mertuanya. Bukankah dengan menikahiku, ibuku telah menjadi ibunya juga? Tentunya dia harus adil memperlakukan mereka. Tak boleh membeda-bedakan. Sungguh marah aku rasanya Ibuku selalu saja ia nilai hanya pantas memakai barang-barang tak bermutu. Sementara, untuk Ibunya selalu ia beri yang terbaik.
Akan tetapi, lagi-lagi aku tak berdaya. Yang mencari nafkah dia. Aku sendri tak punya penghasilan. Jadi harus tahu diri. Kupendam saja dalam hati rasa kesal ini.
*****
"Siska, minggu depan Ibumu ulang tahun, kan?" tanya Bang Fadli ketika kami baru saja selesai makan malam.