Hari ke empat, kutemui Bayu.Â
"Bro, omongan Lu tempo hari soal kereta rawan copet kayaknya ndak benar, tuh," ujarku.Â
"Dari mana Lu bisa nyimpulin begitu?" Kening Bayu sedikit berkerut. Mungkin agak heran mendengar pernyataanku.Â
"Beberapa hari ini aku coba bereksperimen untuk membuktikan omongan Lu itu. Aku masukin uang monopoli ke amplop, trus kutaruh di saku belakang selama di stasiun dan di dalam kereta. Udah tiga hari, ndak hilang tuh," jelasku.Â
Bayu langsung ngakak mendengar penuturanku.Â
"Ya iya lah gak hilang. Kan gua udah bilang, copet di sini canggih-canggih. Mana bisa Lu kibulin begitu. Mereka tau amplop itu isinya bukan uang. Ga ada orang sesembrono itu bawa uang banyak di kereta. Mereka gak begok, Bro." Bayu kembali ngakak tak habis-habis.Â
Aku pun geli sendiri mendengar penjelasannya. Rupanya memang aku yang terlalu naif. Mengira para copet disini cukup bodoh untuk bisa terkena prank seperti itu.Â
****
Sore harinya, saat pulang, amplop itu masih kubiarkan saja di saku belakang. Namun, aku tak lagi antusias bermaksud memancing copet. Aku kembali naik kereta pada jam padat-padatnya penumpang.Â
Dalam gerbong dapat posisi berdiri di tengah-tengah antara dua bangku panjang pada kedua sisi gerbong. Dalam keadaan berdesak-desakan begitu, tiba-tiba dari belakang ada seseorang yang berusaha merangsek maju ke depan. Walau posisinya sudah terjepit, dia masih saja terus memaksakan diri maju ke depan sambil agak menyibakkan orang-orang yang dia lewati.Â
Ketika orang itu lewat di sampingku, aku rasakan tanganya merogoh saku belakangku. Aku segera tersadar, "Pasti copet nih."Â