"Terlalu mainstream!"
Arjuno senang sekali menggunakan ungkapan itu untuk menilai sesuatu.
Dia bersahabat dengan anak-anak yang "tidak mainstream". Sahabat-sahabatnya di SMP, Aulia dan Sufi, benar-benar "tidak mainstream". Aulia penggila kereta api yang cita-cita hidupnya adalah menjadi masinis, sementara Sufi penggila musik yang sudah mencipta lagu sejak kecil. Sahabatnya di MAN, Rexa, mirip pertapa. Dia cuma suka belajar. Tidak suka hangout, menonton bioskop, mendengarkan musik, dan lain-lain kegiatan yang umum dilakukan remaja.
Dia suka mendengarkan musik jadul era '80an karena "lagu jaman sekarang tu terlalu mainstream".
Arjuno tidak suka memakai celana jeans karena "terlalu mainstream".
Bagi Arjuno, semua yang trendi  itu "terlalu mainstream".
Lama-lama aku ketularan juga.
Semula, aku gunakan ungkapan itu untuk memenangkan diskusi dengan Arjuno.
"Mama nyuruh kamu sekolah di madrasah aliyah, karena sekolah umum sudah terlalu mainstream."
"Nonton Habibie dan Ainun? Ndak ah, Mama ogah nonton, terlalu mainstream. Ndak ada adegan tembak-tembakannya."
"Kamu mau kuliah apa, itu harus dirintis dari sekarang. Biar fokus belajarnya. Kalo kamu baru milih fakultas setelah lulus sekolah, itu terlalu mainstream."