Mohon tunggu...
Aqil Aziz
Aqil Aziz Mohon Tunggu... Administrasi - Suka makan buah

Mencintai dunia literasi. Penullis di blog : https://aqilnotes.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Melawan Rumor

11 Juni 2018   06:19 Diperbarui: 12 Juni 2018   00:00 2931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: ilukmana.blogspot.com

Sri adalah warga RT kami. Masih muda. Janda. Belum punya anak. Wajahnya bersih. Sebenarnya kalau dia mau berdandan sedikit saja, atau ada yang mau ngeramut, pasti kelihatan cantiknya. Ia hidup bersama ibunya, tak punya saudara. Senyumnya menggoda, kepada siapapun dia tersenyum, kepadaku juga demikian. Semua orang menyukainya. Tak terkecuali laki-laki. Mereka ingin dekat dengan Sri. Tapi tak seorangpun yang berani menikahinya.

 Sudah dua kali Sri menikah. Dua kali pula, suaminya meninggal. Kata orang-orang, jika ada yang berani menikahinya. Sama saja cari mati. Sehingga beredar rumor, menikahinya adalah jalan menuju kematian. Sialnya, semua laki-laki di daerah kami mempercainya. Sehingga sampai kini, Sri tetap masih sendiri.

"Sudah berapa lama kamu menjanda?"

"Dua tahun, kalau dari hitungan suami kedua, dan 3 tahun kalau dihitung dari sejak pernikahan pertama."

Saya membuka pertanyaan kepada Sri. Ketika ia duduk di bawah pohon jambu. Sekedar basa-basi, atau perkenalan, memang biasa dilakukan orang-orang. Mereka senang mengobrol kepada Sri, karena ia selalu membuka diri dan tersenyum. Senyum yang berarti menghargai semua orang, bukan senyum mencibir atau menghina.

"Kamu percaya dengan rumor itu?"

Sri tersenyum.

"Mas, percaya?" Ia balik bertanya.

"Aku!? Kalau aku tidak sama sekali."

"Kenapa tidak dicoba saja?"

Ia mulai menggoda, kemudian tertawa.

Saya pikir, yang seperti inilah, yang membuat setiap laki-laki betah berbincang dengannya. Haq.Haqul yakin. Kalau benar-benar lelaki jantan. Pasti ingin menikahinya. Lihatlah betapa manis senyumnya. Kecerahan wajahnya, sama sekali tidak ada yang percaya kalau ia sudah janda. Masih muda. Cantik. Kalau bukan karena iman yang masih melekat di dalam dada, atau kalau bukan karena ingat anak dan istri di rumah. 

Saya pun bisa terseret menghadapi Sri. Yang kian lama pembicaraanya semakin romantis. Ingat ketika zaman pacaran dulu. Rasa itu kini muncul kembali. Tapi sebagai lelaki yang masih ingin menikmati hidup ini. Rasa khawatir itu tetap ada. Tak ada seorangpun yang berani mendekat dengan kematian. Cukup sudah, dua suaminya itu, sebagai pelajaran bagi kami, semua para lelaki untuk tidak mengulanginya.

"Sebenarnya aku ingin membuktikan, bahwa itu hanya rumor saja. Desas-desus yang disebarkan tetangga akan saya tampik dengan bukti. Bahwa hal itu tidaklah benar. Tapi dengan siapa saya bisa membuktikannya?"

"Maksudmu untuk percobaan?" Aku terkekeh.

Tiba-tiba, mata Sri mulai berkaca-kaca. Seakan-akan menyeret ingatannya ke masa lalu. Ia mulai bercerita.

"Coba mas pikir. Bukankah kematian itu adalah takdir Tuhan. Tak ada seorang pun yang tahu, kapan malaikat maut menjemput. Kematian bukan disebabkan dengan siapa kita menikah. Banyak perjaka yang belum menikah juga mati. 

Sebabnya pun macam-macam. Bukan karena setelah menikahiku terus mati. Memang itu adalah Takdir. Takdir suamiku. Siapa yang tahu, kalau suamiku yang pertama, punya penyakit jantung, ketika setelah akad, malamnya, ia mendengar kabar kalau ibunya jatuh di kamar mandi. Ia langsung meninggal. Sedangkan suami yang kedua, ketika mengajar di dalam kelas tiba-tiba ia tak bisa gerak. Stroke itu, membawanya kepada kematian. Masak aku yang dijadikan sebagai..."

Putus. Sri tak bisa melanjutkan. Kemudian ia menangis.

Saya jadi tidak enak, membuat Sri menangis. Apa kata orang, nanti saya dikira menyakiti hatinya. Saya juga tidak berusaha mengorek masa lalunya. Tanpa ia berceritapun, kami semua sudah tahu. Kisah itu sudah menyebar ke mana-mana. Hampir semua warga desa mengetahuinya. Hanya lelaki yang tak percaya takhyul atau seandainya masih percaya, memang sudah bosan tak ingin hidup lagi, yang bisa menyelamatkan Sri untuk menepis rumor yang beredar itu.

Saya menunggu tangisnya mereda. Setelah suasananya cukup diajak bicara. Saya berusaha mengalihkan ke topik yang lain.

"Kamu hari ini, gak pergi ke pasar, Sri?"

"Nggak mas, hari ini Emak ingin istrirahat dulu. Badannya ngedrop. Sementara jualannnya libur dulu."

"O ya. Saya punya niatan untuk bantu kamu. Teman saya, tetangga desa, masih muda. Mungkin seumuran denganmu. Tahun kemarin baru cerai dengan istrinya karena masalah harta. Istrinya benar-benar keterlaluan, tidak pernah puas dengan pemberiannya. 

Masalah rumah tangga, diumbar kemana-mana, sehingga keluarga, mertua, dan tetangga, ikut campur dalam urusan rumah tangga mereka. Akhirnya berantakan. Dan sekarang dia menduda. Kira-kira kamu mau? Dia tidak jelek-jelek amat. Kalau kamu siap, entar tak lihatkan fotonya dulu. Dia orangnya baik kok. Saya kenal betul"

"Iya mas, sebenarnya keinginan saya cuma satu. Ingin mementahkan rumor itu. Bahwa itu tidak benar. Jodoh dan kematian adalah urusan Tuhan. Bukan urusan saya. Dengan siapa saja saya mau, asalkan ada yang mau dan tidak percaya dengan rumor itu."

"Ok." Aku menyetujuinya. Kemudian kami bubar.

Satu bulan berlalu. Perkenalan diantara dua pihak berjalan lancar. Meski mengetahui rumor itu, teman saya tidak ambil pusing. Tabrak saja. Ia benar-benar yakin kematian adalah takdir Tuhan.

"Kalau sudah waktunya mati. Ya mati. Memangnya kita bisa menghindari mati!?" jawabnya setelah saya tanya, siap tidaknya menikah dengan Sri.

"Wah. Sip. Hebat," begitu donk sebagai lelaki, puji saya.

Sebagai mak comblang. Minggu ini saya mulai sibuk. Untuk mengurus persiapan pernikahan. Alhamdulillah semuanya berjalan beres. Lancar. Pak Mudin juga sudah saya hubungi. Beberapa orang suka cita menyambutnya. Yang tak habis pikir. Masih ada tetangga sinis, yang mencoba memperkeruh susana. Menganggap ini adalah permainan. Malah mereka membuat taruhan, antara mati dan hidup suami Sri setelah menikah. Ada yang memprediksi sehari setelah akad, ada juga yang memprediksi, setelah empat puluh hari dan ada juga yang memprediksi setelah satu tahun. Benar-benar kelewat batas. Masak pernikahan dianggap seperti prediksi bola.

Hari pernikahan itu telah tiba. Sri dan teman saya tersenyum bahagia. Para tamu undangan juga memberikan ucapan selamat. Saya anggap urusan saya beres. Saya melanjutkan pekerjaan saya. Esok waktunya mudik. Memberi kesempatan istri untuk bersua kepada bapak-ibunya. Sebagai menantu yang baik, tali silaturrahim ini tidak boleh putus. Meski berangkat dengan tangan kosong, pulang selalu membawa banyak barang. He.. he.. Itulah berkahnya mengunjungi mertua.

Di rumah mertua. Saat makan malam, sambil nyruput kopi. Sedang asyik-asyiknya bercanda dengan keluarga. Terdengar nada sms dari hp saya. Kontan saya shok, setelah membaca pesan singkat, bahwa teman saya yang sedang bahagia itu, kabarnya meninggal dunia, tertabrak mobil saat naik motor. Aku terpaku dan mematung. Jantungkku seakan berhenti berdetak.

"Pak! Pak ada apa?" tanya istri saya sambil menepuk punnggung. "Jangan bengong, ayuk segera dimakan.!"

Kematian benar-benar menghampirinya. Rumor itu semakin kuat. Sri tak kuasa melawannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun