Mohon tunggu...
Muhammad Aqiel
Muhammad Aqiel Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

#TeknokraJugaBersalah, Matinya Intertekstualitas dan Ketiadaan Ishlah

16 April 2019   02:25 Diperbarui: 16 April 2019   02:33 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Dibaca Normal 5 Menit

Setelah simpang siur pemberitaan UKPM Teknokra Universitas Lampung baru-baru ini sulit untuk tak menyimpulkan sikap semberono, gegabah, dan nafsu yang sengaja diada-adakan. Bila dicermati-maka Ketidakpekaan, hingga jurnalisme-kebebasan-intrik yang saling silang dapat kita lihat dari dugaan mereka mengenai adanya unsur keterlibatan antar partai politik dan panitia seminar nasional yang diadakan oleh UKM-F Hukum Mahkamah, inilah tanda yang diada-ada, sehingga peran Teknokra sebagai penanda berujung fatalis, penuh kebiasan, bahkan hiperrealitas atau kenyataan yang melampaui kenyataan.

Untuk memahami kefatalan pemberitaan ini lebih lanjut, ada beberapa asas dan teori yang dapat kita pahami bersama mengenai intertekstualitas. Intertekstualitas pertama kali berkembang dari adanya penentangan Julia Kristeva terhadap model berfikir strukturalis dan sinkronik. 

Kristeva melihat lebih jauh bahwa relasi antar makna dari satu karya ke karya lainnya adalah keharusan dalam ruang dan waktu, sebab itu dalam ruang harus ada relasi antar teks, sebagai misal penanda yang dibuat Teknokra melalui pemberitaannya harus berhubungan dengan teks yang dibuat UKM-F Mahkamah, sedangkan dalam konsepsi garis waktu, teks keduanya harus tercipta melalui proses-proses dialogis, bukan asumsi semata.

Dok. Teknokraunila
Dok. Teknokraunila
Sayangnya unsur-unsur dialogis dari judul berita yang dapat kita cermati di akun Instagram UKPM Teknokra, "Satu Unit Mobil Berstiker Salah Satu Pasangan Capres Terpakir di FH" sengaja mempertontonkan ketidakberimbangan, meski ada beberapa dalil yang membentengi lahirnya pemberitaan ini yakni adanya ulah intervensi atau penghadangan dari segelintir oknum yang menghambat kerja-kerja Jurnalistik Teknokra. 

Tetapi Intervensi ini adalah reaksi yang tercipta pasca lahirnya pemberitaan tersebut. Intervensi timbul setelah berita ini naik ke permukaan maya, setelah berita diproduksi tanpa upaya verifikasi, dan setelah gugurnya kebebasan pers yang bertanggung jawab.

Meskipun begitu, bila menyangkut kasus kekerasan fisik yang dialami oleh wartawan Teknokra, saya masih berpandangan itu bukan persoalan yang dapat diamini-bukan juga untuk dihakimi. Mengingat prinsip  dialogis oleh Mikhail Bakhtin yang cendrung berbahaya ialah ketika salah satu dampak terluas dari matinya makna dan proses dialogis akan berujung pada kekerasan yang tiada henti, reaksi berlebihan karena perasaan dilecehkan, dihina, hingga dilumpuhkan. 

Saya pikir pelaku kekerasan dari oknum amat mungkin sekali merasa sakit hati. Oleh karenanya pola tindak Jurnalis Teknokra ternyata hanya dilandasi semangat kebebasan, tetapi dasar-dasar mengenai itu dari segi literatur cendrung defisit, berimbas juga pada defisit moral, mengenai tindakan-tindakan yang kontra-produktif, kontra-konstruktif, dan kontra-kognitif.

Sebab itu, proses-proses dialogis dalam pembuatan berita tidak hanya dipengaruhi oleh pancaran jiwa seorang wartawan, yang terdiri dari nafsu berekspresi, kebebasan, dan keegoisan. Proses dialog secara prinsipil haruslah berwujud ishlah (Rekonsiliasi), sehingga melahirkan ruang-ruang dan suasana yang lebih dialektis. 

Karena sangking berbedanya paham secara alamiah akan melebur perlahan-lahan dalam konsep ishlah, dan mau bagaimanapun juga perbaikan demi perbaikan dalam suasana yang damai akan terjadi, sehingga produk jurnalistik yang publik nanti-nanti tidak menimbulkan kegaduhan sana-sini.

Sebagaimana yang dikemukakan Julia Kristeva dalam bukunya Revolution in Poetic Language, sebuah teks dalam kasus ini adalah berita hanya akan dapat eksis bila di dalam ruang teks tersebut, beraneka ragam ungkapan, yang diambil dari teks-teks lain, silang menyilang oleh waktu atau kenyataan, dan saling menetralisir satu sama lain. Inilah landasan membangun dari apa yang menjadi kegagalan, tercegahnya upaya-upaya verifikatif dan Ishlah, hanya karena keegoisan wartawan memaknai dengan dangkal kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.

Membangun Ishlah

Saya pikir kawan-kawan dari UKPM Teknokra sudah sangat paham gagasan Barat tentang prinsip jurnalisme seperti kebenaran, keseimbangan, verifikasi, dan independen dari penguasa. Tetapi ada satu hal yang musti diingat baik-baik bahwa yang membedakan prinsip jurnalisme barat dan Indonesia adalah pada letak kebebasannya, kebebasan mutlak yang dimiliki barat tentu berbeda dengan kebebasan bertanggung jawab yang dimiliki Indonesia. Dan untuk beberapa alasan saya juga kerap menggambarkan prinsip-prinsip tersebut dengan ayat-ayat Al-Quran dan hadis.

Prinsip jurnalisme mengenai keberimbangan (covering both sides) atau keadilan, misalnya : "Wahai orang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik yang membawa berita, telitilah berita itu agar kalian tidak memberikan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahuan sehingga kalian akan menyesali apa yang telah kalian kerjakan." (QS Al-Hujurat [49]: 6)

Bahkan wartawan-wartawan di media nasional sekaliber Republika, Kompas, Tempo, dsb,  juga sering menggambarkan proses isnad, atau memeriksa "rantai penyebaran" ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad, tentu bila dikaitkan dengan prinsip jurnalistik hampir mirip dengan prinsip jurnalisme verifikasi. Banyak pula akademisi mendefinisikan jurnalisme islami selaras dengan karakter-karakter sesuai ajaran Islam dengan misi amar makruf nahi mungkar atau mengajak kebaikan dan mencegah hal-hal buruk.

Bedanya, muslim cenderung lebih terdorong oleh tujuan keadilan alih-alih kemerdekaan. Itu sebabnya gagasan kebebasan pers tidak diterima dengan cara yang sama di tengah masyarakat mayoritas Muslim di Indonesia dengan yang ada di Barat. Di Indonesia, peran pers sebagai pengawas diposisikan bukan dalam liberalisme, tapi lebih pada kewajiban Muslim menghentikan perbuatan jahat ketika melihatnya.

Maka dalam kasus kali ini, setelah kita memahami kualitas pers dari media-media mainstream seperti Republika, Kompas, dsb, sudah jelas mayoritas diisi oleh muslim yang progresif, mendukung jalan pembaharuan, dan adanya pluralisme dalam memaknai keberagaman. Didukungnya Isnad atau dalam kepustakaan jurnalistik ialah jurnalisme verifikasi pun tidak boleh menjadi bagian yang hilang dalam melakukan kerja-kerja Jurnalistik. 

Maka setelah konsep verifikasi ini terbangun dan dijalankan betul-betul, sesuatu yang damai, yang diselingi perbincangan hangat antara si wartawan-narasumber akan terbangun, bahkan berkelindan erat, tentu dalam nuansa Ishlah. Karena konsep ini akan ada dan terbentuk bila kita saling menghargai satu sama lain.

Cerdas Mengabarkan!!!!

 Penulis : Ahmad Aqil

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun