Mama-mama mulai menyiapkan tungku, bapa-bapa memotong jagung muda dan mencabut kacang tanah. Ada yang mencari ketimun di tengah-tengah kebun itu. Semuanya dikumpulkan di pondok. Kacang dan jagung mulai direbus. Dahaga akibat perjalanan yang melelahkan saya tebus dengan ketimun besar seukuran kepala orang dewasa. Di kampung saya, ketimun biasanya hanya sebesar satu gengaman tangan, tapi di sini timun bisa sebesar ini.
Kami berkeliling sebentar, melihat luasnya kebun kacang tanah. Bapa Ferdi menunjuk batas-batas kebunya dari kejauhan. Hampir satu bukit penuh tanaman kacang tanah diselingi tanaman jagung.
Sambil menunggu olahan makanan matang, kami mencabut kacang untuk dijadikan oleh-oleh dari kebun. Memetik ketimun dan juga mengumpulkan jagung muda. Sebuah karung sudah disiapkan untuk dimasukan apa saja yang bisa saya pikul dalam perjalan pulang sebentar. Beberapa orang menyiapkan bale-bale untuk istirahat mereka nanti malam.
Makanan telah siap. Ayam gemoy sudah diolah. Darah ayam dimasak terpisah. Entah bagaimana caranya tapi rasanya sangat otentik. Baru saya rasakan masakan seperti ini setelah ada di Kefamenanu.
Jagung rebus, kacang rebus dan timun yang segar. Nikmat makanan dan kehangatan keluarga besar ini melebur jadi satu di bawah pondok mungil pinggir kali.
Matahari mulai terbenam, kami berempat dari rombongan meninggalkan Seumbam, nama tempat ini dan kembali ke Kefa. Saya sudah tidak sabar untuk menunjukan kepada istri oleh-oleh dari kebun yang saya bawa pulang. Apalagi timun jumbo, yang ukurannya lebih besar dari timun yang sering ia pegang.