Lalu, apa yang bisa dilakukan para orang tua agar tidak membesarkan anak-anak yang seperti ini?
Pertama, biarkan anak mengalami kesusahan. Tahan naluri untuk selalu jadi penyelamat. Justru dalam kesulitan, anak belajar bertahan, belajar berpikir, dan belajar menemukan solusinya sendiri.
Kedua, ajari anak menerima kekalahan dan kegagalan. Jangan selalu memenangkannya dalam permainan. Biarkan ia tahu rasanya kalah, kecewa, dan bagaimana rasanya bangkit dengan air mata.
Ketiga, sedikit tega tak apa. Kadang cinta justru harus diungkap lewat ketegasan. Anak perlu tahu bahwa tidak semua keinginannya bisa dikabulkan.
Keempat, latih anak memulai dari bawah. Jangan langsung sodorkan posisi enak. Biarkan dia tahu rasanya jadi pemula, jadi bawahan, jadi orang yang harus berjuang untuk dihargai.
Kelima, dorong anak untuk mandiri. Ajarkan ia membereskan barangnya sendiri, mengatur waktu, bahkan membuat keputusan kecil sejak dini. Kemandirian bukan warisan, tapi hasil latihan.
Keenam, jangan ambil tanggung jawab yang jadi miliknya. Kalau PR-nya belum selesai, jangan bantu. Kalau ia lupa tugas, biarkan ia dimarahi. Tanggung jawab lahir dari konsekuensi nyata.
Ketujuh, batasi uang saku. Jangan biasakan anak hidup dalam kenyamanan berlebih. Biarkan ia belajar menunda keinginan, mengatur pengeluaran, dan paham nilai uang.
Kedelapan, libatkan anak dalam tugas rumah. Menyapu, mengepel, mencuci piring, itu bukan hukuman. Itu adalah latihan tanggung jawab.
Kesembilan, ajarkan etos kerja dan disiplin waktu. Bangun pagi, konsisten menyelesaikan tugas, dan menghormati waktu adalah pelajaran dasar menjadi orang tangguh.
Dan terakhir, jadilah contoh. Anak lebih jago meniru daripada mendengar. Jika orang tuanya rajin, sabar, tangguh, dan bertanggung jawab, besar kemungkinan anak pun akan tumbuh serupa.