Dr. Andi Sulistiadi atau yang dikenal dengan pengampu Anthesianz, merilis hasil penelitian ilmiahnya yang bertajuk "Eksplorasi Vokal Etnik  Dalam Etnopendagogi Ritual Adat Ulayat" pada Rabu, 17 September 2025 di kampus STTB The Way Jakarta. Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan etnografi ini mengungkapkan peran, fungsi, tantangan dan startegi pelestarian vokal etnik dengan mengkontruksi dimensi etno-vative sebagai konsep pelestariannya.Â
Dalam kehidupan masyarakat Nusantara, vokal etnik---baik berupa nyanyian, mantra, maupun narasi lisan---bukan sekadar hiburan. Ia adalah bahasa sakral yang menyatukan manusia dengan alam, leluhur, dan bahkan Sang Pencipta. Melalui vokal, pesan-pesan budaya diwariskan lintas generasi, membangun identitas kolektif, sekaligus memperkuat spiritualitas.
1. Vokal sebagai Medium Komunikasi Sakral dan Spiritual
Dalam berbagai upacara adat, vokal etnik hadir sebagai sarana doa dan penghubung dengan dunia spiritual. Misalnya, mantra Jawa yang dipakai untuk memohon perlindungan, atau tembang Sunda Buhun yang dilantunkan dalam ritual.
Menariknya, hal ini sejalan dengan ajaran Alkitab. Mazmur 96:1-2 menegaskan: "Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN... Ceritakanlah kemuliaan-Nya di antara bangsa-bangsa." Nyanyian bukan hanya melodi, tetapi media penyembahan dan komunikasi dengan Tuhan.
2. Vokal sebagai Pilar Kohesi Sosial dan Transmisi Nilai
Nyanyian rakyat juga berfungsi memperkuat kebersamaan. Lagu gotong royong suku Dayak ketika menanam padi, atau dolanan anak Jawa "Cublak-cublak Suweng", tidak hanya menghibur, tetapi mengajarkan nilai kerja sama dan persatuan.
Firman Tuhan pun menekankan pentingnya nyanyian bersama. Efesus 5:19 berkata: "Berkatalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani." Musik dan vokal menciptakan ruang kebersamaan yang penuh kasih.
3. Vokal sebagai Simbiosis dengan Kekuasaan
Sejarah mencatat bagaimana vokal juga menjadi sarana legitimasi kekuasaan. Dalam tradisi Jawa dan Bali, tembang pujian kerap ditujukan bagi raja. Bahkan dalam kisah Alkitab, 1 Samuel 18:7 mencatat perempuan bernyanyi: "Saul mengalahkan beribu-ribu, tetapi Daud berpuluh-puluh ribu." Nyanyian itu membentuk persepsi publik tentang kepemimpinan dan kejayaan.
Dari ritual adat hingga Alkitab, vokal etnik ternyata memiliki fungsi multidimensional: sebagai sarana spiritual, alat perekat sosial, sekaligus media legitimasi kekuasaan. Ia adalah warisan budaya yang layak dilestarikan, sekaligus pengingat bahwa suara manusia selalu punya kuasa---kuasa untuk menyembah, menyatukan, dan bahkan menggerakkan sejarah.