Mohon tunggu...
Acb
Acb Mohon Tunggu... Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indra Frimawan Pernah Bilang: Cinta Gak Sesimpel Dulu

15 Juli 2025   16:39 Diperbarui: 31 Juli 2025   18:00 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: YouTube - RIGEN RAKELNA ) 

Beberapa waktu lalu, potongan video dari Indra Frimawan muncul di TikTok. Kemudian karena pensaran, akhirnya cari ke YouTube untuk lebih jelas. Disitu Indra Frimawan ternyata berbicara tentang bagaimana cara pandang terhadap orang lain terutama soal hubungan berubah seiring bertambahnya usia.

Kalimatnya begini:

"Makin berumur, pikiran kita buat orang tuh lebih kompleks. Kalau dulu mungkin kita ngeliat cantik atau perhatian, tapi kalau sekarang kita mikir gimana kalau misalnya dia marah, dia marah tuh kondisinya gimana, kita bisa handle atau enggak kekurangan-kekurangan dia, bisa jadi kompromi gak buat gua."

Pernyataan Indra ini juga sejalan dengan pengamatan IDN Times yang menyebutkan, "dulunya mungkin cari kriteria pasangan yang fisiknya disukai, setelah dewasa lebih ingin pasangan yang matang pribadi dan pemikirannya." (Sumber: IDN Times - "5 Kriteria Pasangan Berubah saat Dewasa, Pengaruh Pola Pikir")

Hal ini mengonfirmasi bahwa seiring bertambahnya usia, cara kita menilai dan memilih pasangan memang berevolusi menjadi lebih mendalam. Apa yang dulu terasa cukup, kini terasa terlalu sederhana. 

Rasanya aku setuju dengan hal ini, meskipun pandangan ini bukan karena pengalaman pribadi dalam berpacaran, tapi dari banyak cerita dan masukan teman-teman yang lebih dulu terlibat dalam hubungan. Dari mereka, aku belajar melihat hubungan dengan cara yang lebih dewasa.

Dulu saat melihat seseorang, hal-hal yang jadi perhatian terasa lebih simpel. Mungkin karena dia tampan, gaya bicaranya tenang, atau caranya presentasi bikin kagum. Ada rasa nyaman yang muncul hanya dari satu sisi yang baik. Tapi lama-lama mulai sadar, satu sisi baik belum tentu mencerminkan semuanya. 

Sekarang, ketika mengenal seseorang secara umum, pikiran terasa lebih kompleks. Tidak berhenti di "nyaman gak ya?" tapi lanjut ke "kalau dia marah, aku sanggup gak ya menghadapi dia?" atau "bisa gak saling memahami saat salah satu sedang di titik terendah?"

Aku pernah juga ada di fase yang berpikir bahwa kebaikan luar sudah cukup sebagai patokan. Tapi seiring waktu, rasanya tidak sesederhana itu lagi. Bukan karena jadi sinis, tapi karena mulai sadar: memilih pasangan bukan cuma soal jatuh hati, tapi juga kesiapan untuk hidup bersama. 

Lambat laun, ada beberapa hal yang berubah dalam cara pandangku:

1 Satu sisi baik belum tentu cukup

Beberapa orang tampil dengan citra yang begitu meyakinkan. Pintar berbicara, sopan di depan umum, dan bisa bikin nyaman. Tapi pengalaman mengajarkan bahwa sisi luar itu bisa menipu. Mungkin dia memang terlihat "effort", tapi kalau ternyata punya kebiasaan manipulatif, enggan mendengar, atau bahkan tidak jujur, apa tetap bisa diterima?

Kesan awal bisa jadi penting, tapi bukan segalanya. Butuh waktu dan proses untuk mengenal lebih dalam. Dan itu wajar. Karena hubungan bukan soal yang terlihat, tapi soal keseharian, soal realita.

2 Memilih dengan sadar bukan berarti terlalu pilih-pilih 

Ada kalanya ketika bilang "Aku belum cocok" atau "rasanya belum klik", langsung terdengar seperti sedang menutup diri. Padahal, memilih dengan hati-hati bukan berarti sok perfeksionis. Justru karena tahu bahwa hubungan itu serius, jadi gak bisa asal menerima hanya karena takut sendiri.

Aku percaya, setiap orang punya hak untuk memilih. Bukan memilih yang sempurna, tapi yang benar-benar bisa diajak jalanin bareng. Dan itu butuh pertimbangan, bukan terburu-buru.

3 Tidak semua kekurangan bisa ditoleransi 

Setiap orang pasti punya sisi yang kurang. Tapi gak semua kekurangan harus ditoleransi. Ada yang bisa diajak kompromi, dan ada yang memang harus jadi batas.

Terkadang orang bilang, "ya, nanti juga berubah," tapi perubahan tidak akan datang tanpa kemauan. Dan kalau kebiasaan buruk sudah jadi bagian dari keseharian, hubungan justru bisa jadi beban.

Tentu setiap orang berhak punya harapan bahwa pasangannya bisa berubah. Tapi pertanyaannya: kalau ternyata dia tidak berubah, sanggupkah hidup dengan segala kebiasaannya itu setiap hari? Kalau dia tetap menjadi orang yang sama, tetap suka berbohong, tetap hanya bicara tanpa aksi, tetap tidak jujur, masihkah hubungan itu layak dipertahankan?

4 Sekarang lebih peduli pada arah hidup, bukan sekedar perasaan 

Cinta itu penting, tapi tidak cukup. Aku berpikir bahwa dalam hubungan jangka panjang, perasaan harus berdampingan dengan arah yang jelas. Apakah dia punya tujuan? Apakah bisa diajak diskusi tanpa harus saling menyakiti? Apakah dia bekerja, berusaha atau punya tanggung jawab, terutama jika dia laki-laki yang juga ingin memimpin hubungan.

Semua itu jadi pertanyaan wajar, karena hubungan bukan hanya tentang saat-saat manis. Akan ada hari ketika semuanya tidak baik-baik saja. Dan saat  itu datang, yang dibutuhkan bukan hanya rasa sayang, tapi juga daya tahan.

Pada akhirnya, memilih pasangan bukan tentang mencari yang paling sempurna, tapi tentang menemukan seseorang yang bisa diajak berjalan bersama dalam segala situasi. 

Seseorang yang bisa diajak bicara tanpa harus saling menyakiti, yang tetap bertahan ketika masa sulit datang, dan yang tidak berhenti berproses bukan untuk menjadi sempurna, tapi untuk jadi lebih baik bersama.

Sebagai mahasiswa PR, aku belajar bahwa memahami audiens dimulai dari memahami diri sendiri. Cerita ini bukan cuma soal cinta, tapi juga soal bagaimana aku menyampaikan pesan secara jujur dan relevan, dua hal penting dalam komunikasi yang baik. 

Menulis ini membuatku sadar bahwa komunikasi yang tulus bisa jadi cara paling efektif untuk membangun koneksi baik dalam hubungan pribadi maupun profesional.

Ini bukan soal perempuan atau laki-laki. Bukan tentang siapa yang harus selalu mengerti lebih dulu, atau siapa yang berhak menuntut lebih banyak. Melainkan komitmen jangka panjang yang perlu dijaga dengan usaha, komunikasi, dan kejujuran.

Kalau sekarang jadi lebih berhati-hati, bukan berarti takut membuka hati. Tapi karena ingin mencintai, kelak di waktu yang tepat, dengan cara yang sehat, dewasa, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai yang aku yakini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun