Oleh Veeramalla Anjaiah
Gilgit-Baltistan (GB), wilayah yang dikuasai Pakistan, yang sering disebut sebagai "tanah yang berlimpah" karena sumber daya alamnya yang melimpah, ironisnya tengah berjuang menghadapi krisis listrik yang parah. Meskipun menjadi rumah bagi beberapa gletser dan sungai terbesar di dunia, yang memiliki potensi besar untuk pembangkit listrik tenaga air, wilayah tersebut tetap diselimuti kegelapan selama berjam-jam setiap hari, demikian dilaporkan situs web Afghan Diaspora Network.
Paradoks ini menyoroti masalah yang lebih dalam: kurangnya tindakan yang kredibel dan visi jangka panjang dari pemerintah Pakistan, ditambah dengan korupsi sistemik, eksploitasi sumber daya dan prioritas yang salah.
GB diperkirakan memiliki potensi hidroelektrik sebesar 50.000 megawatt (MW), tetapi hanya menghasilkan kurang dari 200 MW listrik. Ketimpangan yang mencolok ini menggarisbawahi kegagalan dalam memanfaatkan kekayaan alam wilayah tersebut untuk kepentingan rakyatnya. Penduduk setempat sering mengungkapkan rasa frustrasi, dengan menyatakan bahwa sementara sungai dan gletser mereka dieksploitasi untuk menghasilkan listrik bagi wilayah lain di Pakistan, mereka harus menanggung pemadaman listrik yang berkepanjangan.
"Kami duduk di atas tambang emas, namun kami dipaksa hidup dalam kegelapan," demikian laporan Afghan Diaspora Network mengutip pernyataan seorang penduduk setempat.
Menurut surat kabar Duniya News, listrik berkapasitas 10 MW telah ditambahkan ke sistem di GB dalam waktu singkat 18 bulan di bawah pemerintahan GB saat ini.
Penduduk GB yang diduduki Pakistan tengah menghadapi salah satu musim dingin terberat yang pernah ada, karena pemadaman listrik parah terus melanda wilayah tersebut, demikian laporan surat kabar The Tribune.
Meskipun kaya akan sumber daya alam, termasuk cadangan air yang besar, daerah tersebut menghadapi kekurangan energi kronis, dengan penduduk setempat menghubungkan krisis tersebut dengan salah urus, korupsi dan proyek infrastruktur yang belum selesai.
Seorang warga menyatakan urgensi situasi tersebut, dengan menjelaskan bahwa bahkan pada tahun 2025, GB akan menghasilkan sekitar 300-400 MW listrik, meskipun memiliki potensi untuk menghasilkan hingga 40.000 MW. Kurangnya produksi energi lokal telah memaksa warga untuk bergantung pada solusi sementara, seperti generator, tetapi langkah-langkah ini sering kali tidak berhasil.
Krisis listrik di kawasan itu, menurut Afghan Diaspora Network, bukan disebabkan oleh kurangnya sumber daya, melainkan kurangnya kemauan politik dan perencanaan yang berkelanjutan. Para ahli berpendapat bahwa pendekatan pemerintah tersebut kurang berwawasan, berfokus pada perbaikan cepat daripada solusi jangka panjang. Proyek-proyek berskala kecil, yang sering kali terganggu oleh penundaan dan korupsi, telah gagal memenuhi permintaan listrik yang terus meningkat. Sementara itu, proyek-proyek hidroelektrik berskala besar, yang dapat mengubah lanskap energi di kawasan itu, masih terjebak dalam birokrasi yang berbelit-belit.