Mohon tunggu...
Anggit Pujie Widodo
Anggit Pujie Widodo Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. ( Pramoedya Ananta Toer )

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lorong Pemisah

9 Agustus 2022   14:50 Diperbarui: 9 Agustus 2022   14:58 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ket foto : Lorong (dokumen pribadi)

Jajaran anak tangga sudah ia lewati bersama peluh keluh keringat yang menetes menemani jejak langkah kakinya. Lelaki itu perlahan mulai sampai di lantai dua, tempat awal yang ingin ia tuju. Beragam cerita sederhana telah ia lewati ketika hendak menuju ke lantai dua. 

Anak tangga dan raut wajah kebingungan selalu membersamai Lelaki itu. Kini ia telah diatas, lorong di sebelah kirinya nampak begitu gelap, tak ada cahaya apalagi gerak-gerik manusia. Rasa khawatir menyelimuti, ragu-ragu ketika melangkah. Naluri lelakinya seolah tak berguna, hanya karena lorong gelap, ia tak berani untuk melangkah. 

Diam sejenak, Lelaki itu diam beberapa menit untuk mengumpulkan sisa tenaga. Bagaimanapun, menaiki anak tangga merupakan sebuah perjuangan, proses yang tidak bisa begitu saja ia tinggalkan di balik tubuhnya. 

Sejenak terdiam, bersama hembusan nafas panjang yang ia hirup, Lelaki itu melangkahkan kaki kanannya terlebih dahulu, sebelum memulai ribuan langkah menyusuri lorong gelap yang kini ada di hadapannya. 

Lorong itu tersekat pintu warna coklat. Sebelum memasukinya, pintu itu harus terbuka lebih dahulu. Lelaki itu merasa pintu itu terkunci, jika memang iya, apalah gunanya ia mengumpulkan banyak tenaga hanya untuk memasuki lorong yang terkunci. 

Lelaki itu kini tepat ada di depan pintu. Ia memainkan gagang pintu dan secara tak sengaja pintu itu terbuka. Ternyata pintu itu memang tidak dikunci. Pintu yang dilengkapi kaca membuat Lelaki itu tetap bisa melihat lorong di depannya. 

Pintu telah dibuka lebar. Dengan penuh ketidakpercayaan diri ia sedikit demi sedikit maju dan memasuki lorong. Dari dalam lorong, hanya terdapat beberapa ruangan kosong. Tanpa pijar lampu, cahaya matahari apalagi cahaya hati. Kosong, gelap. Itulah yang ia rasakan. 

Sebelah kiri terdapat dua ruangan kosong, dan sebelah kanan adalah tembok pembatas yang dilengkapi jendela. 

Kedua kaki nya bergerak mengikut perintah otak, hatinya berdegup kencang, seolah ingin segera keluar dari lorong itu, namun seolah tak mau, kedua kakinya tetap berjalan pelan, bak menikmati perjalanan di tempat wisata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun