Mohon tunggu...
Anggie D. Widowati
Anggie D. Widowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Psikolog, Pegiat Literasi

Penulis Novel: Ibuku(Tidak)Gila, Laras, Langit Merah Jakarta | Psikolog | Mantan Wartawan Jawa Pos, | http://www.anggiedwidowati.com | @anggiedwidowati | Literasi Bintaro (Founder)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Juara Festival

21 Juni 2020   13:22 Diperbarui: 31 Oktober 2020   04:41 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

CERPEN  

Lelaki itu tubuhnya tambun. Tetapi geraknya lincah dan luwes. Senyumnya merekah, ramah dan tenang. Ada tahi lalat di pipi kanannya. Kulitnya sawo matang. Tidak tampan, tetapi juga tidak jelek. Secara keseluruhan dia terlihat humble. Penampilannya santai, bersih dan trendi. Selalu mengenakan kaos dengan tema. Sesuai dengan kondisi terkini. 

Seperti saat ini, Juara mengenakan kaos hitam dengan tulisan tagar: #LawanCorona. Begitupun istrinya. Kaos itu entah beli dimana, dirahasiakannya. Dari beberapa hari ini sudah sepuluh orang yang menanyakan kaos itu. Kemudian masing-masing memesan kaos yang sama. 

Juara Festival, begitu dia dipanggil. Orang tuanya meninggal ketika umurnya baru sepuluh tahun. Juara pun kemudian ikut neneknya yang membuka toko di rumah. Kakeknya sudah lama tiada. Ada sedih dan kesendirian yang harus ditanggung, sebagai seorang anak yatim piatu. Selain itu kedua orang tuanya juga membebaninya dengan nama yang tidak lazim, Jadi Juara (baca Yadi Juara).

Lalu darimana nama Juara Festival itu bermula, ceritanya panjang.

Juara tinggal di sebuah kluster lepas yang lumayan mewah. Namun dari 50 rumah yang ada disitu rumahnya paling sederhana. Masih rumah asli dari pengembang yang belum direnovasi. 

Istrinya cantik, dua anaknya juga terlihat kecukupan. Juara tidak miskin, tetapi juga tidak terlihat kaya. Padahal semua orang tahu, orang yang tinggal di kluster itu pasti orang berpunya. Orang sering berfikir heran. Istrinya setiap hari menyupir mobil box buluk, tua. Tetapi suatu waktu ada yang melihatnya membawa tas Dior keluaran terbaru.

Orang pun bertanya, dia itu kaya atau miskin sih. Dari sinilah kearifan seorang juara bicara. Kearifan seorang bisnisman sejati.

*

Dengan menjaga jarak, setiap orang 2 meter, antrian panjang itu bermuara di rumah Juara. Satpam kluster sedikit kewalahan karena antrian itu sampai ke jalan raya. Iyaa. Ini adalah musim jaga jarak, tetapi keinginan orang untuk membeli disinfektan terus membludak.

Istri Juara di depan rumah dengan kaos oblong #MelawanCorona dan celana jins sedang melayani pembeli. Juara sibuk menulis sesuatu. Lalu dia menghentikan antrian dan memasang karton itu di dinding teras.

"Karena banyaknya permintaan, disinfektan harganya naik, 30 ribu perbotol, hand sanitaizer, menjadi 40 ribu perbotol. Setiap orang maksimal membeli 10 botol, ttd, Jadi Juara."

Antrian saling menoleh ke belakang mereka dan menunjukkan kekhawatiran. Tapi mereka tetap bertahan dan tidak keluar dari antrian. Itu artinya mereka menyepakati harga yang ditetapkan oleh Juara.

"Pah, stok masih cukup?" tanya istrinya.

"Cukuplah buat hari ini, nanti sore akan dikirim lagi. Itu lima dus yang di mobil belum dikeluarkan."

"Ada yang nanyain vitamin C dan ekstrak jahe merah, kita bisa sediain tidak?"

"Lho kok vitamin C."

"Aku baca berita kemarin, untuk menghindari virus sebaiknya mengkonsumsi vitamin c."

Mata Juara bersinaran.

"Oke, nanti aku kontak teman yang kerja di apotik."

Ketika masih kecil, Juara bukanlah anak kecil yang kekurangan. Neneknya kaya, tetapi bagaimana pun juga nenek adalah bukan orang tuanya. Jadi dia pun tak bebas untuk minta ini itu padanya.

Kebutuhan-kebutuhan sekolah dipenuhi dengan baik. Uang saku ada, tetapi kadang Juara pengen sesuatu yang lain, yang tak mungkin dikatakan pada nenek. Juara bukan anak yang menonjol di kelas. Nilainya tidak terlalu bagus, tapi lumayan untuk tetap naik kelas.

Juara suka sekali pramuka. Dia berfikir bila menjadi pramuka itu sangat gagah dan hebat. Baju coklat muda, dan celana coklat tua. Memakai pet dengan tanda kotak berwarna merah, tali tambang di sabuk kirinya dan pisau kecil di sabuk kanan, ada priwitan di bahu kiri, seperti polisi.

Sebagai pemilik toko kelontong nenek menjual atribut sekolah dan keperluan pramuka. Atas arahan kakak pembina, baju pramuka Juara paling lengkap dan penuh dengan tanda-tanda yang diambilnya dari dagangan nenek.

Nama, nomor gugus depan, nama regu, tanda pandu sedunia, semua lengkap menempel di baju murid kelas empat itu. Kelengkapan atribut itu bikin iri teman-temannya. Atribut yang tidak umum dipunyaibanak-anak di sekolah adalah badge nama di dada kanan Juara.

"Ju, bagde nama itu beli dimana?" tanya temannya.

"Pesen kakak pembina ya?" tanya yang lain  ingin tahu.

Juara menggeleng. 

"Aku mau."

"Aku juga mau."

"Nenek yang pesen sama temannya, penjahit," jawab Juara buka rahasia.

"Bikinin dong buat aku," rengek temennya.

"Aku juga."

Juara diam. Merenung. Maukah nenek memesankan nama teman-temannya itu. Pastilah mau. Nenek kan pedagang, katanya dalam hati.

"Yaudah, siapa aja yang mau?"

"Aku!"

"Aku juga!"

"Aku dua, sama adikku!"

Juara pun mencatat nama-nama itu.

"Aku tanyain dulu harganya sama nenek, besok aku kasih tahu kalian ya."

Bagde nama sepuluh anak pesanan pertama sudah jadi. Nenek menghargainya 5 ribu satu badge. Nenek bilang, dia boleh mengambil untung karena sudah menampung pesanan. Nenek bilang Juara bisa menjual badge itu 6 ribu.

Dari sepuluh anak itu, Juara mendapatkan untung 10 ribu. Itu adalah kali pertama Juara mendapatkan uang dengan kerja. Esoknya dia mulai promosi pada yang lain soal badge nama itu. Sepuluh anak memesan lagi, dan makin lama makin banyak yang memesan. Ketika kelas lain ikutan memesan, Juara menaikkan harga menjadi 7 ribu.

Nenek juga bersemangat karena dia juga mendapatkan untung dari pesanan itu. Penjahit hanya mematok harga 4 ribu satu badge dan dia menjual pada Juara 5 ribu. Juara yang paling banyak mendapatkan untung. Para guru ikutan memesan buat mereka dan anak-anaknya, untuk guru Juara mematok harga yang berbeda.

Juara mengumpulkan uangnya di tabungan. Dia kadang mengobrol dengan nenek urusan jual menjual. Nenek pernah bertanya, berapa tabungan hasil kerjanya. Juara menjawab dengan jujur dan nenek bilang jangan biarkan uang lapuk di tabungan. Juara harus terus memutar uang itu.

"Semua anak sudah punya badge nama, aku mesti jualan apa lagi Nek?"

"Di sekolah pada mainan apa sih?"

"Kelereng sama kartu Nek."

"Kenapa kamu tidak jualan kelereng?"

"Wah iya juga."

"Ada yang jualan kelereng gak di sekolah?"

"Tidak Nek, mereka beli di toko, dan harus nyebrang jalan besar."

"Ya udah bawa separo tabunganmu, besok ikut nenek ke pasar."

Dua dus kelereng habis esok harinya. Dari untung yang diterimanya, Juara membeli kelereng lebih banyak, dan terus beli lebih banyak pada hari berikutnya. Tetapi dia salah perhitungan, permainan kelereng sudah mulai tidak diminati. Pembelinya mulai jarang. Padahal ada lima dus yang masih penuh. Juara pun mengadu pada nenek.

"Baik biar nenek jual di toko saja."

"Tapi kenapa tidak laku Nek? Aku lihat mereka masih ada main kelereng."

"Pertama, teman-temanmu mungkin sudah bosan main kelereng. Kedua mungkin kau menjualnya terlalu mahal."

Juara meringis. Iyaa, mungkin nenek bener. Di toko seberang sekolah, seribu dapat lima kelereng, sedangkan Juara menjualnya lebih mahal. Seribu dapat empat kelereng.

"Jualan harus lihat sikon. Kalau mereka nggak mau beli lagi, turunkan harga, tapi jangan sampai merugi."

"Yaa Nek. Seribu dapat lima aja sebenarnya aku undah untung, aku terlalu nafsu, jadi kujual seribu dapat empat."

"Jadi gimana, masih mau jualan kelereng? Atau yang lainnya?"

"Yang empat kotak aku titip ke nenek aja di toko, yang satu kotak aku jual sendiri, sekarang aku mau jual layangan, kemarin teman-teman pada main layangan di lapangan."

Esoknya pulang sekolah Juara sudah berkeliaran di lapangan bola dengan setumpuk layangan. Anak-anak kecil yang belum bisa menaikkan layangan pun merengek pada orang tuanya. Disinilah naluri bisnisnya berjalan. Kalau orang tua yang membeli layangan, dijualnya seribu rupiah, kalau anak kecil beli sendirian cukup lima ratus rupiah. Hari pertama jualan layangan dagangan habis bersih.

Kelas dua SMA neneknya meninggal. Rumah dan toko akan dibagikan sebagai warisan. Nenek punya dua anak, Om Pardi dan ayahnya. Maka warisan pun dibagi dua. Rumah itu dijual dan dari warisan itu Juara membeli rumah di kluster dekat kampungnya. Disitulah dia memulai hidup sendirian. membiayai sekolahnya dengan jualan apa saja yang lagi trend di sekolah.

Lulus SMA, juara tidak melanjutkan kuliah karena tidak ada biaya. Pantang baginya menjual rumah itu, karena disitulah dia bisa tetap berteduh. Kebingungan melanda. Kalau sebelumnya dia bisa berjualan pada teman-teman sekolah, sekarang dia harus mencari konsumen baru.

Dia tidak suka membuka toko seperti neneknya. Untungnya sedikit, lakunya lama dan capek. Dan di depan kluster itu sudah ada toko kelontong dan minimarket. Lagi pula dia tak punya modal yang cukup besar. Juara pun mulai berkelana. Rumah itu sudah seperti gudang. Berbagai macam barang dia stok, tentu saja untuk penjualan yang khusus.

Kalau di kampungnya ada acara tujuhbelasan, Juara belanja banyak sekali atribut tema merah putih, seperti bendera, umbul-umbul dan semacamnya. Untungnya lumayan. Kalau sisa, barang itu dia gelar di pinggir jalan. 

Jiwa dagang sekaligus petualangannya mulai merambah ke dunia yang lain. Dia tahu di klusternya pembeli terlalu terbatas. Suatu hari dia datang ke sebuah seminar. Bukan sebagai peserta, dia membaca spanduk dan ingin tahu situasinya seperti apa. Pada saat itu beberapa peserta sedih karena tidak kebagian kaos tema yang dijual panitia.

Besoknya Juara mencari info di internet tentang seminar-seminar dan temanya. Di acara seminar politik, dia jualan buku-buku kiri. Harga tinggi pun ada yang beli. Seminar ibu-ibu, dia jualan wadah plastik dengan tulisan motivasi wanita. Seminar bayi dan anak, dia jualan kaos dan topi anak dengan tema sama. Jadilah Juara pedagang di arena seminar-seminar.

Merasa bosan, dia merambah ke konser dan festival. DI arena Asian Games, dia jualan mug dengan harga selangit. Di festival musik dia jualan CD dan VCD penyanyi yang bersangkutan. Di Festival jajanan dia jualan panci. Di festival sepak bola dia jualan kaos dan poster pemain bola.

Makin kayalah Juara. Dengan semua uangnya dia membeli sebuah mobil box untuk mengangkut barang-barangnya. Dia menikah dan memiliki dua anak. Dan sekarang, teman-teman pedagang dan tetangganya memanggilnya Juara Festival. 

*

Telepon berdering. Terlihat Juara berbicara panjang lebar dengan orang itu. Istrinya masih sibuk melayani antrian di depan rumahnya. Perempuan itu mempekerjakan seorang wanita untuk membantunya di kasir.

"Siapa Pa?" tanya istrinya.

"Herman, teman dari apotik."

"Terus?"

"Besok dicoba dulu satu dus vitamin C."

"Sip."

"Disinfektannya batasi pembelian tiga botol, biar antrian terakhir dapat barang," katanya sambil melihat deretan antrian.

"Harga dinaikkan enggak?"

"Tidak usah. Biarkan saja 30 ribu. Mama  tetap pantau harga vitamin C ya."

"Iyaa Pa."

"Sisa Masker masih ada, Ma?"

"Masih."

"Jual saja dengan harga normal, sepertinya peredaran masker sudah normal."

"Tapi Pa."

"Udah ga usah tapi-tapi, itu dijual segitu juga masih mahal, turunin sesuai harga pasar yang baru. Masih untung banyak kok, daripada ngendap di gudang."

"Iyaa Pa."

Istrinya mengangkat jempol tanda setuju.

Jakarta, 6 April 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun