> "Andai suatu hari aku pergi duluan, aku cuma ingin dia tahu... aku bahagia pernah mencintainya. Itu sudah cukup."
Buku itu basah oleh air matanya. Raka menutup wajah, dadanya terasa sesak hingga sulit bernapas.
Sejak malam itu, hidupnya tidak pernah sama lagi. Ia menjalani hari-hari dengan tubuh yang ada, tapi hatinya telah hilang bersama seseorang yang tak mungkin kembali.
Adinda akhirnya memilih pergi. Ia tidak tahan dengan tatapan kosong Raka, dengan nama Lira yang terus muncul di sela-sela obrolan. Raka tidak menahan. Baginya, hanya ada satu nama yang tertanam selamanya di hatinya.
Tahun demi tahun berlalu, namun Raka tetap setia mengunjungi makam Lira. Setiap sore, ia duduk di bangku taman yang dulu pernah mereka tempati, menatap langit jingga seorang diri.
Dan di sanalah ia menyadari: hidup tanpa Lira bukan sekadar kehilangan seseorang, tapi kehilangan separuh jiwanya.
BAB 9: SENJA YANG SUNYI
Waktu berjalan tanpa bisa dicegah. Dari seorang remaja yang penuh canda, Raka kini telah menjadi pria dewasa dengan wajah yang mulai dipenuhi garis-garis lelah. Rambutnya tak lagi sehitam dulu, sebagian telah memutih.
Namun, ada satu hal yang tidak pernah berubah: kebiasaannya mengunjungi makam Lira dan duduk di bangku taman kota, tempat mereka dulu sering berbagi cerita.
Setiap sore, tepat ketika langit mulai memerah, Raka datang membawa sebuket bunga mawar putih. Ia meletakkannya di atas nisan, lalu duduk bersila sambil berbicara pelan.
"Li, hari ini kerjaanku lumayan capek. Bos masih cerewet seperti biasa. Tapi aku ingat kamu pernah bilang, jangan pernah nyerah, ya? Jadi aku bertahan. Kamu pasti bangga kan?"