Dalam tradisi ini, Ertha diyakini “turun” melalui asap api untuk membawa pesan atau berkah. Beberapa kebiasaan seperti memotong apel untuk melihat bintang di dalamnya, atau berciuman di bawah mistletoe, sebenarnya berakar pada keyakinan bahwa bumi sedang berkomunikasi dengan manusia melalui tanda-tanda alam.
Suku-Suku Jermanik dan Penghormatan terhadap Ertha
Penghormatan terhadap Ertha tersebar luas di antara suku-suku seperti Suebi, Cherusci, Franks, dan Angles. Masing-masing memiliki cara unik dalam mengekspresikan rasa hormat kepada bumi. Namun, intinya tetap sama: bumi adalah ibu yang memberi makan, melindungi, dan menampung segala kehidupan.
Dalam masyarakat agraris kuno, pemujaan ini juga memiliki dimensi ekologis dan etis. Mereka memahami bahwa merusak alam sama saja dengan menyinggung sang dewi.
Karena itu, banyak aturan adat yang melarang penebangan sembarangan atau pencemaran sumber air. Bagi mereka, alam bukanlah sumber daya yang bisa dieksploitasi, tetapi makhluk hidup yang harus dijaga keseimbangannya.
Apakah Penghormatan Ini Masih Bertahan?
Seiring berkembangnya agama-agama besar di Eropa, kepercayaan terhadap Ertha perlahan menghilang dari praktik keagamaan resmi. Namun, semangat dan nilai-nilainya tidak sepenuhnya lenyap.
1. Neopaganisme dan Spiritualitas Bumi
Gerakan spiritual modern seperti Heathenry, Ásatrú, Wicca, dan Druidry berusaha menghidupkan kembali penghormatan terhadap bumi sebagai entitas suci. Dalam ritual mereka, bumi sering dipanggil sebagai “Mother Earth” atau “Gaia”, yang jelas memiliki akar dari sosok Ertha.
2. Festival Musiman
Perayaan musiman seperti Yule (musim dingin) dan Ostara (musim semi) masih dirayakan dengan api unggun, musik, tarian, dan meditasi alam. Aktivitas-aktivitas ini bukan hanya bentuk hiburan, tetapi juga upaya menjaga hubungan manusia dengan siklus alam, sebagaimana yang dulu diajarkan Ertha.
3. Ekofeminisme dan Seni Spiritualitas
Dalam konteks modern, Dewi Ertha sering dijadikan simbol ekofeminisme, gerakan yang melihat adanya keterkaitan antara penindasan terhadap perempuan dan eksploitasi terhadap bumi. Dalam seni, ia digambarkan sebagai sosok perempuan agung yang menumbuhkan pepohonan dari rambutnya, atau memeluk bumi dengan kasih.