" Cerminan Pandangan Kuno tentang Bumi sebagai Entitas Hidup dan Suci "
Pengantar: Bumi Sebagai Makhluk Hidup
Sejak zaman kuno, manusia telah memandang bumi bukan hanya sebagai hamparan tanah tempat berpijak, tetapi sebagai makhluk hidup yang bernapas, berpikir, dan memiliki kehendak.
Dalam pandangan spiritual banyak kebudayaan, bumi dianggap sebagai ibu yang memberi kehidupan sekaligus menjadi tempat beristirahat ketika kehidupan berakhir. Salah satu wujud paling kuat dari konsep ini muncul dalam mitologi suku-suku Jermanik kuno, melalui sosok Dewi Ertha.
Dewi Ertha atau Hertha dipandang sebagai Ibu Bumi, sosok yang melahirkan segala kehidupan, menjaga keseimbangan alam, serta menjadi penghubung antara manusia dan kekuatan kosmik. Dalam ritual-ritualnya, Ertha tidak hanya disembah, tetapi juga “dihadirkan” melalui prosesi sakral yang menegaskan kehadiran nyata bumi sebagai entitas spiritual.
Kini, di tengah dunia modern yang sering melupakan nilai kesakralan alam, kisah Dewi Ertha kembali menarik perhatian. Ia menjadi simbol penting dalam gerakan spiritualitas bumi dan kesadaran ekologis yang menekankan bahwa manusia dan bumi sejatinya adalah satu kesatuan yang saling bergantung.
Siapa Dewi Ertha?
Dewi Ertha, yang dikenal juga dengan berbagai nama seperti Hertha, Erda, atau Nerthus, merupakan dewi bumi dalam tradisi Jermanik awal.
Catatan tertua tentang dirinya berasal dari karya sejarawan Romawi Tacitus berjudul Germania (sekitar abad ke-1 Masehi). Dalam tulisan itu, Tacitus menggambarkan Ertha sebagai dewi yang sangat dihormati oleh suku-suku di Eropa Utara, terutama oleh bangsa Suebi.
Menurut catatan tersebut, Ertha dianggap sebagai perwujudan bumi yang suci. Ia menaungi kedamaian, kesuburan, dan keseimbangan. Tidak seperti dewa-dewi perang atau petir yang menggambarkan kekuatan destruktif, Ertha melambangkan sisi lembut dan pemulihan alam.
Yang menarik, penghormatan terhadap Ertha bukan sekadar simbolis. Dalam kepercayaan kuno, ia diyakini benar-benar “hadir” dalam ritual suci. Ketika keretanya keluar dari tempat suci, masyarakat percaya bahwa bumi sedang berkelana di antara manusia. Pada masa itu, semua konflik dihentikan, senjata disimpan, dan masyarakat hidup dalam damai hingga sang dewi kembali ke tempatnya.
Dengan demikian, Ertha bukan hanya lambang tanah atau alam. Ia adalah manifestasi kesadaran bumi itu sendiri, makhluk spiritual yang hidup, berperasaan, dan menjaga keseimbangan segala yang tumbuh di atasnya.