Dalam beberapa hari ini kita mendengar informasi bahwa beberapa surat kabar di Indonesia akan menghentikan penerbitan edisi cetaknya dan beralih ke online saja atau bahkan ada yang berhenti terbit sama sekali. Akibatnya PHK terhadap para jurnalis tidak terhindarkan. Penutupan surat kabar ini bisa jadi merupakan awal dari rangkaian gelombang besar yang sedang menerpa industri media cetak, yang makin ditinggalkan oleh pembaca atau pengiklan.
Dalam sebuah seminar yang diadakan oleh INMA (International Newsmedia Marketing Association) pada tahun 2015 ini, seorang pembicara menyajikan sebuah slide yang berjudul Newspaper Extinction Timeline yang berisi tahun pada saat surat kabar cetak di berbagai negara akan habis. Yang pertama-tama adalah negara-negara maju yang memiliki infrastruktur telekomunikasi yang sangat baik seperti Amerika Serikat di tahun 2017, Inggris dan Islandia di tahun 2019. Indonesia tidak tercantum dan hanya dimasukkan dalam kelompok Rest of the World, yang media cetaknya akan habis setelah tahun 2040.
Berakhirnya era surat kabar sebenarnya sudah diperkirakan sejak awal berkembangnya Internet (World Wide Web) di tahun 1990 an karena Internet memiliki banyak kelebihan sebagai media informasi dibandingkan dengan surat kabar. Meskipun jumlah pembaca dan tiras surat kabar masih tetap bisa bertahan, tetapi yang menjadi korban paling awal dari surat kabar adalah pendapatan dari iklan baris (classified ads), yang berpindah ke situs jual beri barang online (marketplace), baik yang bersifat umum atau khusus untuk kategori industri tertentu seperti properti dan otomotif serta iklan lowongan kerja. Hilangnya pendapatan dari iklan baris ini sangat berarti karena bagi banyak surat kabar, iklan baris memberikan kontribusi pendapatan hingga 30 persen.
Ketika smartphone makin terjangkau harganya, makin banyak orang menggunakan smartphone untuk akses Internet, termasuk untuk mendapatkan informasi dari situs berita. Seorang penulis Tommy Ahonen bahkan menyebut bahwa mobilephone sebagai media massa ke 7 karena jumlahnya yang jauh lebih banyak dariapada televisi, internet dan komputer personal. Sejak inilah, pembaca media cetak makin merosot. Beberapa surat kabar dan majalah ternama di Amerika Serikat menjadi korban, seperti Christian Science Monitor dan Newsweek mulai menghentikan edisi cetaknya pada tahun 2008 dan 2012 serta beralih ke edisi online saja. Berita yang paling mengejutkan ketika tahun 2013 The Washington Post dibeli oleh Jeff Bezos, pemilik toko buku online Amazon.com, dengan harga hanya 250 juta dolar AS, sebuah nilai yang sangat kecil untuk sebuah surat kabar yang sudah berusia 80 tahun dan dengan reputasi tinggi. Selama 6 tahun terakhir, Washington Post mengalami penurunan pendapatan hingga 44 persen dan dalam 6 bulan terakhir, tirasnya turun hingga 7 persen.
Kondisi ini makin diperparah dengan kehadiran media sosial yang memungkinkan semua orang bisa menjadi sumber berita sehingga media massa tradisional bukan lagi satu-satunya sumber berita, terlepas dari kebenaran dan keakuratan berita tersebut.
Dalam laporan Reuter Institute Digital News Report 2015, ditemukan fakta yang makin mengkhawatirkan nasib media cetak. Dalam 12 bulan terakhir, akses berita melalui smartphone meningkat tajam dari 37 persen menjadi 46 persen di 12 negara yang menjadi obyek riset (AS, Eropa, Jepang). Riset ini juga menemukan trend bahwa akses berita melalui komputer desktop menurun dan akses berita dalam bentuk video meningkat tajam. Trend ini umumnya terjadi pada audiens dengan umur dibawah 35 tahun. Di Indonesia, Kemkominfo menargetkan jumlah pengguna Internet mencapai 150 juta orang dan pengguna smartphone mencapai 55 juta orang.
Transformasi Total
Bagaimana masa depan surat kabar dan jurnalisme?
Eric Schmidt, mantan CEO Google pernah menyatakan bahwa “We have a business model problem, not a news problem”. Dalam era saat ini dimana kita kebanjiran informasi, yang belum tentu kebenaran dan akurasinya, kita makin membutuhkan sumber informasi yang bisa dipercaya. Secara tradisional, salah satu sumber informasi tersebut adalah surat kabar. Namun mengapa ketika surat kabar seharusnya makin dibutuhkan tetapi justru makin ditinggalkan oleh pembacanya, khususnya oleh orang muda digital natives, yang lahir pada era 90 an ?
Media cetak jelas memiliki banyak kekurangan dibandingkan dengan digital (online atau mobile). Yang makin tidak relevan dengan perkembangan teknologi saat ini adalah platform medianya dan bukan isinya. Ini berarti sebagus apapun isinya namun jika disalurkan melalui medium yang tidak tepat, maka tidak akan sampai ke pembaca. Menyikapi perkembangan ini, sebenarnya sejak lama banyak surat kabar mengembangkan versi digitalnya, namun justru yang sukses kebanyakan bukan berasal dari media tradisional. Beberapa media baru di AS seperti Huffington Post, BuzzFeed, Flipboard, Vice yang tidak memiliki media tradisional bisa mengalahkan versi digital media tradisional yang sudah diakui reputasinya.
Sebuah frasa dari Marshall McLuhan, seorang ahli komunikasi, pada tahun 1964 yang sangat terkenal, “ The Medium is the Message” masih terbukti kebenarannya di era media baru sekarang ini. Frasa ini mengandung arti bahwa medium menyatu dengan pesan itu sendiri. Konsekwensinya, isi memiliki karakter yang berbeda dan harus disajikan dalam bentuk dan cara yang berbeda sesuai dengan mediumnya. Tidak bisa isi dari satu medium sekadar dipindahkan ke medium yang lain. Inilah yang sering menjadi kelemahan pengelola surat kabar yaitu kultur dan pola kerja media cetak diterapkan dalam mengelola media digital. Sedangkan media digital yang baru, karena tidak punya beban masa lalu, menerapkan kultur yang sama sekali beda, baik dalam cara kerja, cara penyajian maupun organisasinya.
Untuk supaya bisa tetap bertahan hidup dan bahkan sukses dalam mengarungi perkembangan medium-medium yang baru, surat kabar harus melakukan transformasi total dan investasi dalam teknologi informasi serta tidak hanya memandang versi digital sebagai sebuah produk atau kanal tambahan. Ditinggalkannya media cetak oleh pembacanya khususnya orang muda sulit dihindari, tetapi bagaimana sebuah surat kabar harus bertransformasi menghadapi perkembangan teknologi. Bila berorientasi ke masa depan (yang sudah dimulai saat ini juga ), maka tidak ada pilihan lain kecuali melakukan transformasi menjadi digital first media, bahkan mobile first. Melalui transformasi ini, seluruh proses penciptaan informasi akan mengutamakan versi digital dengan kultur, pola kerja, isi dan format media digital namun tetap akan mencetak surat kabar untuk keesokan harinya untuk melayani pembaca media cetak dan selama masih menguntungkan secara bisnis.
Yang sering menjadi hambatan bagi pengelola surat kabar dalam melakukan transformasi adalah keraguan akan keberhasilan transformasi ini karena hingga saat ini pendapatan dari media digital masih belum bisa menggantikan hilangnya pendapatan dari media cetak. Sekitar 60 persen bisnis iklan digital direbut oleh Google dan Facebook saja. Namun tidak banyak pilihan yang tersedia. Apakah media cetak mampu bertahan dalam jangka panjang tetapi lansekap bisnis media digital belum jelas betul, tetapi paling tidak masih ada harapan untuk bisa berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Beberapa surat kabar di Amerika Serikat (New York Times, Washington Post) dan Eropa menunjukkan keberhasilan dalam melakukan transformasi menuju digital first media termasuk model bisnisnya, baik melalui iklan maupun langganan dimana pembaca harus membayar atas isi berita. Bila model bisnis yang sama untuk surat kabar berlaku di seluruh dunia, bisa jadi model bisnis yang sama juga berlaku untuk media digital. Keberhasilan awal ini menunjukkan bahwa kita tidak perlu khawatir akan masa depan “surat kabar” beserta jurnalisme yang berkualitas, hanya medium cetaknya yang suatu saat mungkin akan hilang, yang akan berganti dengan medium baru seiring dengan perkembangan teknologi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI