Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber 3] GGS a.k.a Gue Gak Sial-lagi

30 November 2015   14:27 Diperbarui: 1 Desember 2015   11:32 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ando Ajo, no urut; 5

Ben, menghentikan langkah. Sejenak ia menoleh. Sudah jauh Ben meninggalkan Desa Kamposaina. Bahkan, Ben tak lagi melihat gapura megah yang pernah menyambutnya dengan hangat di belakang sana. Ben menghela napas dalam-dalam, masygul. Hempasan napasnya seakan membawa serta lendir-lendir dalam tenggorokan yang sering membuat Ben terbatuk-batuk. Ngiik…

Ben kembali melanjutkan langkah. Apa pun itu, Ben amat bersungguh-sungguh berterima kasih kepada warga Kamposaina. Mahaguru Jati, dan Nero, lebih-lebih waafilkhususon  pada si Putri Jempol a.k.a Mbak Yerikem. Ben bahkan sampai meneteskan liur jika bertatap muka dengan Yerikem. Pasalnya, meski tuh Putri Jempol udah tante-tante, tapi bodi bahenol itu bikin wajah Ben kian Konyol.

Alhasil, meski dengan berberat hati, Ben harus meninggalkan Tante Yerikem demi keamanan dan kebahagiaan warga Kempesianu. Desa tercintanya itu, sangat-sangat membutuhkan ajian mahasakti yang di dapat Ben dari Yerikem untuk menghalau Geng Jempolers dengan dedengkotnya si Setan Jempol. Hanya saja, baik warga Kamposaina maupun Kempesianu tiada yang mengetahui, bagaimana Ben bisa mendapat ajian tersebut secara detailnya, selain Ben, Yerikem, dan Mahaguru Jati. Isu yang diembuskan Nero kepada warga Kamposaina, Ben mendapatkan itu dengan jalan Topo Wudo berhadapan dengan Yerikem yang juga melakukan Topo Wudo. Tujuh hari tujuh malam, sesuai sirat tertulis dari Mahaguru Jati.

Di sinilah Ben, di hadapan rimba belantara. Sebuah gapura terbentuk dari ribuan tanaman merambat, membentuk lorong panjang. Namun, terang di sisi lainnya. Ben mengulas senyum, ia akhirnya menemukan jalan pulang ke Desa Kempesianu.

Tak sabar, Ben berlari sekencang-kencangnya…

 

 

Ben, membuka sepasang mata. Silau, dan ia harus berulang kali memejamkan dan membuka matanya agar terbiasa dengan penerangan yang ada. Saat sepasang mata telah mampu melihat warna, Ben hadirkan gurat kebahagiaan di sudut bibir.

Wajah Nyak Ipeh, Babeh Usman, Pakde Darmin, dan sahabatnya, Bay, menyadarkan Ben, jika “mimpi buruk” ini telah berakhir. Dan, hei… siapa itu?

Ben mencoba bangkit, duduk selonjor di atas kasur—yang digelar hanya di atas lantai ruangan. Keringat membasahi tubuh dan wajah Ben, bahkan bulir keringat menetes jatuh dari ubun-ubun hinga ke pelipis. Ben, seolah baru saja melakukan perkelahian hebat dalam tidurnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun