Pukul setengah dua siang aku berjalan menuju gerbang kampus dan menyetop angkutan umum menuju Stasiun. Jarak kampus dan stasiun tidak terlalu jauh. Sesampainya di dalam Stasiun Ibu menelpon lagi. Mengatakan mungkin saja aku lupa penampilan Nenek. Ibu menyebutkan ciri-ciri Nenek saat ia meninggalkan rumah. Mengenakan selendang berwarna merah yang dibelitkan di kepala dan lehernya. Mengenakan kebaya yang dilukis dengan bunga mawar yang hidup di air. Lalu memakai celana jeans. Ia juga gemar mendengarkan musik melalui earphone. “Dandanannya memang kacau, tapi dia adalah Nenekmu, Caius,” kata Ibu melalui saluran telepon.
Ia memakai tas kulit berwarna cokleat dengan pernik-pernik yang ditempel memikat. Tas itu Ibu yang belikan dengan pendapatan dari memotong sedikit demi sedikit uang jajanku selama dua bulan.
“Apa Nenek memakai perhisaan?” tanyaku.
“Kenapa kau bertanya seperti itu, Caius? Apa kau berniat merampoknya?”
Aku bertanya sungguh-sungguh tapi jawaban Ibu membuatku tertawa.
Kereta yang membawa Nenek tiba pukul dua lewat sepuluh menit. Nenek mudah sekali dikenali, dan kurasa Nenek juga tidak kesulitan mengenaliku karena ia melambai-lambaikan tangan ke arahku. Aku berlari mendekatinya. Ia memelukku. Lalu melepaskannya. “Caius, kau tampan sekali,” kata Nenek sambil menepuk-nepuk punggungguku. “Ayo katakan, berapa banyak perampuan yang sudah kau buat patah hati?”
“Nenek juga cantik,” Aku membalasnya, yang juga dengan kata-kata yang tak kalah rasis. “Laki-laki mana pun, aku yakin, pasti akan langsung hancur begitu menatap mata Nenek.”
Nenek tertawa. Dan aku merasa keahlianku mengembalikan kata-kata orang lain, ada untungnya juga.
“Ayo kita pergi dari sini,” kata Nenek kemudian. Lalu memasang headset di telinganya.
Di telepon Ibu tidak mengatakan kalau Nenek membawa satu koper besar dalam perjalanannya meninggalkan rumah. Nenek berjalan di depanku dengan menenteng tas kecil dan celana jeans yang kurasa sangat cocok mendukung gerakannya yang energik dan lincah. Semenatara itu, aku membuntut Nenek sambil menyeret koper besar. Berat sekali. Pantas saja tadi Nenek melambaikan tangan. Jarak antara peron ke depan pintu gerbang stasiun tiba-tiba saja menjadi jauh sekali. Di tambah Nenek yang berjalan memutar stasiun, karena ia tidak mendengarku, alih-alih ia bertanya pada setiap orang yang ia temui dan bertanya, “Kemana jalan menuju pintu keluar?” Mungkin Nenek melupakanku dan aku sendiri tidak berani menegurnya.
Tiga puluh menit kami berjalan mengitari stasiun seperti orang tersesat. Kubilang pada Nenek, “Nek, sebaiknya kita istirahat dulu!”