Itu adalah komentar pertama Ibu, karena aku telah membuatnya menunggu.
“Aku anak Ibu.” Kataku.
“Hu’uh!” Terdengar suara Ibu menghela napas lelah. “Kau selalu bisa mengembalikkan kata-kataku, Caius!”
“Aku minta maaf, Bu, jika mengecewakanmu.”
“Tak apa, Caius. Aku cuma merasa sedikit lelah saja kok.”
“Tapi Ibu kan memang selalu merasa lelah.”
“Benarkah?” Ibu bertanya. “Tunggu sebentar. Apa kau sedang mengeluhkan Ibumu sendiri?”
Aku diam saja sambil membayangkan percakapan apa yang akan terjadi jika kami mengunjungi Hope House. Rumah Harapan itu bersama teman-teman. Apakah mereka akan menerima kami dengan tanpa keinginan memaki lebih dulu karena sebagai mahasiswa sok kritis tidak berdaya menciptakan sumber daya manusia yang harmonis, rukun atau perselingkuhan keduanya. Apakah kami benar-benar siap menghadapi mereka? Aku terus terang tidak siap.
“Caius?” Suara Ibu memanggil. Terdengar khawatir.
“Aku hanya tidak siap, Bu, jika dikirim ke Hope House.”
“Hope House?” Ibu tertawa di balik telepon. “Jangan khawatir! Aku hanya akan menyuruhmu pukul dua siang nanti, menjemput Nenek di stasiun. Ibu ada rapat dengan para guru-guru yang tak bisa diwakilkan. Aku ingin kau menjemput Nenek dan menjaganya.”