Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tak Ada Anak yang Ingin Dilahirkan Jadi Bebal

26 Februari 2023   21:44 Diperbarui: 5 Maret 2023   23:07 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Esi Gruenhagen dari Pixabay

Mencermati berbagai kasus tindak pidana anak dan remaja akhir-akhir ini menjadi perhatian publik. Mulai dari kasus kekerasan berupa pengeroyokan, kasus pemerkosaan, hingga perundungan. Bahkan tidak sedikit di antaranya yang menjadi pelaku atau korban adalah anak anak atau remaja.

Kasus demi kasus yang terjadi menjadi PR kita semua tanpa terkecuali apapun profesi dan posisi kita. Kasus yang menimpa anak-anak dan remaja bagian dari tanggung jawab kita semua, dan tidak bisa serta merta kasus tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pihak yang berwajib atau sebaliknya bahkan kembali melimpahkan kesalahan kepada anak dan remaja. Sebab yakin saja tidak ada anak yang ingin dilahirkan jadi bebal.

Baik sebagai pelaku dalam konteks contoh di atas terlebih sebagai korban. Bahwa tidak ada keinginan yang lahir dalam diri anak untuk berbuat brutal dengan melakukan kekerasan kepada anak lainnya tanpa adanya pola pola kehidupan yang melingkupinya sehingga ia berbuat.

Demikian pun selaku orangtua yakin saja mereka tidak pernah menginginkan hal demikian terjadi. Pada akhirnya orangtua yang juga menerima dampak dari perlakuan anak anak mereka.

Sebagai contoh kasus pengeroyokan David Latumahina yang dilakukan oleh Mario Dandi beberapa hari lalu hingga menyeret nama orangtua tersangka.

Semua individu berhak hidup layak dalam artian terbebas dari berbagai kasus besar. Namun situasi berkata lain. Kehidupan kita saat ini begitu kompleks. Anak berbuat orangtua ikut terseret. Anak jadi korban netizen jadi penghujat.

Kompleksitas tersebut kita tidak bisa serta merta saling melempar kesalahan. Namun mari membenahi sedikit demi sedikit dan dimulai dari hal terkecil.

Pertama, perlu perhatian dari orang tua. Orang Tua merupakan pendidik terbaik sepanjang masa. Namun karena berbagai hal misalnya, karir, konflik dengan pasangan, atau bahkan dari orangtuanya sendiri sejak sebelum mereka jadi orang tua.

Ketiga kondisi ini bisa memicu adanya kesenjangan sosial sehingga akan bisa-bisa menjadi bagian dari pelaku kekerasan, perundungan dan juga bisa saja sebagai korban. Mari kembalikan hak anak sebagai anak, dan sebagai orangtua menjalankan tanggung jawabnya dengan baik.

Dalam situasi ini pula terdapat dua kategori yang nantinya akan terkait satu sama lain. Yakni keadaan ekonomi yang kurang baik dan juga sebaliknya keadaan ekonomi yang terlalu baik sehingga lupa ke pasal satu.

dokpri
dokpri

Ekonomi yang kurang baik bisa menyebabkan anak akan cepat berpikir untuk menjadi pekerja di bawah umur. Sebut saudara kita yang saat ini bekerja sebagai pemulung. Meski dengan uang yang didapatkan bisa dengan jumlah besar.

Namun mempekerjakan anak di bawah umur, sama halnya menghilangkan hak anak sebagai anak. Sehingga ketika ia remaja dan dewasa hingga berumah tangga, siklus demikian bisa saja berulang.

Dalam situasi ini pemerintah bisa memberikan perhatian, bukan hanya dengan regulasi tetapi edukasi yang lebih penting.

Situasi kasus ekonomi yang lebih baik juga tidak terlalu baik baik saja. Lihat saja anak pejabat pajak kita yang akhir-akhir ini melakukan kekerasan kepada si D.

Dalam kasus ini bisa kita amati bahwa ada kontrol sosial yang hilang antara orang tua kepada anak. Dalam konteks orang tua yang mapan pada umumnya menyerahkan apa saja kepada sistem materi. Misalnya sekolah anaknya tinggal ngirim ke sekolah A atau mondok agar anaknya bisa mendapatkan akses pendidikan  yang baik.

Guru atau sekolah menjadi penanggung jawab atau orang tua kedua. Tentu uang tidak jadi masalah bagi mereka. Situasi ini pula terkadang menjadi pemicu kesenjangan di sekolah, di rumah tangga dan di masyarakat karena dengan materi semua bisa dibeli.

Dengan memikirkan karir semata, maka segala sesuatunya anak diserahkan kepada obyek (seperti sekolah, atau tempat les, hingga pekerjaan nantinya).

Sebaliknya dalam konteks demikian tentu anak yang fasilitas serba ada bisa memanfaatkan atau dimanfaatkan pada circle pergaulannya. Dengan dasar bahwa orangtua si A si B berduit, dan uangnya juga uang rakyat serta fasilitasnya juga adalah fasilitas publik (padahal bisa saja murni gaji).

Kedua, lingkungan masyarakat yang sehat. Lingkungan yang sehat akan memberikan dampak baik bagi perkembangan dan pergaulan anak.

Untuk mencari lingkungan sehat juga sangat sulit. Sebab ketika kita dalam situasi keterbatasan materi pula, tidak bisa memilih bahwa saya akan membesarkan anak saya di daerah ini dan di kompleks perumahan ini, dst. Siapa sih yang tidak mau memilih lingkungan yang sehat? Siapa juga yang mau hidup di lingkungan yang kumuh, brutal, sesak, banjir, hingga ajang kriminalitas. Namun lagi-lagi keadaan setiap individu tidaklah sama.

Olehnya itu di mana pun kita berada marilah menjadi individu yang baik. Paling tidak sebagai individu yang baik bisa memberikan magnet yang baik pula kepada individu lain.

Lama kelamaan akan tercipta lingkungan yang sehat. Lingkungan yang sehat paling tidak dalam kompleks perumahaan terdapat fasilitas olahraga sehingga anak-anak bisa bermain dan berekspresi, terdapat fasilitas ibadah sehingga sebagai pusat ibadah bisa memberikan siraman rohani dan sekaligus pusat edukasi agama.

Selanjutnya tentu circle pertetanggaan dan juga sekolah di sekitar kita yang menjadi indikator sebagai lingkungan yang sehat. Sebab terkadang dalam kompleks perumahan yang heterogen terkadang bisa lepas kontrol sehingga kita dengan terpaksa menghindari anak tetangga agar tidak satu sekolah dengan anak kita.

Ketiga, perhatian serius dari pemerintah. Pemerintah dalam artian di sini adalah tidak hanya presiden semata. Melainkan semua unsur pemerintahan mulai dari RT/RW, Desa, Lurah, Camat, Bupati dan aparat-aparatnya. Pemerintah tidak hanya bertugas sebagai pelaksana pemerintahan tetapi harus meningkatkan peran sosialnya yakni creator dan agent.

Pemerintah yang baik tidak hanya menunggu konsep atasaan, tidak hanya menunggu perintah atasan melainkan ia harus menjadi creator yang inovatif. Selanjutnya pelaksana pemerintahan pada tingkat manapun ia harus menjadi agent of change.

Agen perubahan di masyarakat. Untuk menjadi agent yang baik kembali kepada kesadaran serta pengaruh circle kehudupan tadi yakni dimulai dari lingkungan keluarga (bagaimana ia dididk dibesarkan), sekolah di mana, kuliahnya seperti apa, proses menjadi aparat pemerintahan apakah sesuai atau tidak atau bahkan hak orang lain yang dia ambil. 

Ketiga faktor tersebut yakni orangtua, lingkungan masyarakat, dan pemrintah akan saling terkait dalam pembinaan anak dan remaja. Berbagai macam bisa kita ciptakan misalnya dalam lingkungan keluarga mempelajari minat dan kecenderungan anak kita lalu kita penuhi bukan malah memaksakan keinginan orangtua untuk anak.

Selanjutnya di lingkungan masyarakat mari menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi perkembangan anak-anak dan remaja agar anak tidak gampang terpengaruh.

Misalnya memberikan ruang kreasi kepada anak, hingga memberikan ketenangan serta kebebasan dalam bergaul (dalam artian dalam pengawasan).

Demikian pemerintah setidaknya menciptakan regulasi yang baik serta prasarana yang cukup menunjang keberlangsungan kehidupan anak dan remaja. Sebab mereka adalah generasi emas. Sehingga pihak legislatif bisa merancang regulasi bersama eksekutif yang tidak hanya mementingkan kelompok partai semata.

Dengan kerjasama yang baik saya yakin kedua raksasa ini bisa membawa negara kita ke arah yang lebih baik. Sebaliknya dengan bekerja sesuai amanah tentu mereka akan mendapatkan hukum alam yang baik pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun