Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kenang-kenangan Masa Lalu

10 Februari 2023   21:23 Diperbarui: 10 Februari 2023   22:26 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di beranda rumah, dekat jendela, di samping pintu tangga naik, di sana aku selalu duduk bersama Ayah, ibu, kakak, dan adik, di sore hari menjelang magrib, membicarakan masa-masa yang akan datang, atau kisah kisah yang telah lalu, bisa saja itu adalah cara ayah ibuku mendongeng, sebab mereka bukan seniman atau sastrawan apalagi budayawan, mereka hanya keluarga petani padi yang juga sekaligus ayahku sebagai pemanjat kelapa.

Ayahku selalu memulai pembicaraan sembari memuji sepupu sepupunya yang sudah duluan menikmati hidup di kota, tak pernah sedikitpun ia memuja anak anaknya terlebih diriku yang selalu polos di hadapannya tanpa ada kelebihan yang diwarisi atau keluarbiasaan yang aku cipta sendiri dari anak-anak, remaja hingga dewasa, sebenarnya aku ingin menjadi pewarisnya sebagai pemanjat pohon kelapa yang terkenal di kampung belanga.

Ibu sesekali menyela cerita, sembari tangan kanannya memegang kepala kami bergantian satu persatu, tangan kirinya tak lepas di bahu kanan ayah, ia meminta ayah agar tidak selalu membanding membandingkan anak sepupu sepupunya dengan anaknya sendiri. 

Setiap hari sepulang dari Sawah, melewati kuburan di kiri kanan jalan, di antaranya ada leluhur kami, semasa kecil sebelum pindah rumah, kami sangat takut dengan kuburan, padahal ia membuka diri siapa saja yang datang, tangan kanan dan bahu kanan selalu miring melewati kuburan sebagai bentuk penghargaan pada orang yang telah duluan.

Rumah kami hampir saja di kelilingi kuburan, di belakang arah sawah, di samping kiri barat daya, samping kanan selatan, kuburan terbagi bagi atas jasa, strata, atau kemampuan anaknya, rumah kami berdiri panggung ke arah timur berhadapan dengan lapangan sepak bola dan sekolah ibu kandung Pertiwi.

****

Hanya sore hari waktu kami bertemu dengan anak seusia, berlarian ke ladang, berenang di sungai yang dalam, semakin dalam semakin menyelam. Sepulang langsung main layang-layang sesekali dibiarkan main bola mainan.

Kembali magrib, berlima kami makan malam, hidangan ibu sangat mengasyikkan, kadang menyajikan ikan, telur, atau kerang kerangan.

Ayah ibu setiap menjelang tidur malam, selalu saja memberi kami wejangan, shubuh sebelum fajar, selalu ada hidangan untuk sarapan, 

***

Kini hanya dibayang bayangi kenangan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun