"Puisi adalah cara jiwa berbicara, dan dalam setiap bait tersimpan kekuatan untuk mengubah dunia." - Maya Angelou
Dalam hening pagi 26 Juli 2025, Indonesia kembali merayakan keagungan kata-kata yang telah mengalir dalam darah bangsa ini selama puluhan tahun.
Hari Puisi Indonesia bukan sekadar peringatan tahunan biasa, melainkan momentum sakral untuk merenungkan kembali kekuatan transformatif puisi dalam membentuk karakter dan jiwa bangsa.
Di tengah gejolak zaman digital yang serba cepat, puisi hadir sebagai jangkar spiritual yang mengingatkan kita pada kedalaman rasa dan makna hidup yang sesungguhnya.
Penetapan 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia bukanlah kebetulan semata. Tanggal ini dipilih untuk mengenang sosok Chairil Anwar, penyair legendaris yang lahir pada 26 Juli 1922 dan telah mengukir namanya dengan tinta emas dalam sejarah sastra Indonesia.
Melalui karyanya yang revolusioner, Chairil tidak hanya mengubah wajah puisi Indonesia, tetapi juga menjadi katalisator gerakan kesadaran nasional yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Sepanjang hidupnya yang singkat, Chairil telah menghasilkan sekitar 96 karya, termasuk di antaranya 70 puisi, sebuah warisan tak ternilai yang terus menginspirasi generasi demi generasi.
Kementerian Kebudayaan yang resmi menetapkan 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia telah memberikan pengakuan historis terhadap peran vital puisi dalam perjalanan bangsa. Pengakuan ini bukan hanya formalitas administratif, melainkan pernyataan tegas bahwa puisi adalah bagian integral dari identitas kultural Indonesia yang harus dilestarikan dan dikembangkan.
Namun, di balik euphoria perayaan ini, kita dihadapkan pada realitas yang memprihatinkan mengenai kondisi literasi masyarakat Indonesia. Data terbaru menunjukkan bahwa rata-rata warga Indonesia membaca 5,91 buku per tahun dengan durasi membaca mencapai 129 jam, angka yang masih tertinggal dari negara tetangga seperti Singapura. Lebih mengkhawatirkan lagi, UNESCO menyebut indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya di angka 0,001% atau dari 1.000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Paradoks ini menjadi tantangan serius bagi masa depan puisi Indonesia. Bagaimana mungkin kita dapat melestarikan tradisi puisi yang kaya dan bermakna jika fondasi literasi masyarakat masih rapuh? Kondisi ini menuntut refleksi mendalam dan tindakan konkret dari semua pihak, mulai dari pemerintah, institusi pendidikan, hingga masyarakat sipil.
Meski demikian, ada secercah harapan yang patut disyukuri. Survei Snapcart menyatakan bahwa 88% responden anak muda Indonesia suka membaca, dengan 42% responden bahkan membaca setiap hari. Data ini menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia masih memiliki gairah terhadap dunia literasi, termasuk puisi. Mereka adalah generasi yang tumbuh di era digital namun masih mampu mengapresiasi keindahan kata-kata tertulis.