Baru-baru ini, dunia maya dan media massa Indonesia digegerkan oleh penemuan mayat wanita yang dimutilasi dan disimpan dalam koper di Ngawi, Jawa Timur. Dilansir dari beberapa sumber artikel seperti dari SINDONEWS dan RADAR SAMPIT. Kasus ini menjadi perhatian banyak pihak, bukan karena kekejamannya, tetapi juga karena motif di balik perbuatan tersebut. Pelaku mengaku bahwa tindakannya dipicu oleh sakit hati dan kecemburuan yang mendalam setelah merasa terhina oleh korban. Tragedi mengenaskan ini terjadi oleh korban yang berinisal UK (29) merupakan janda anak satu yang menjalani hubungan dengan pelaku berinisial RTH (32), dalam pengakuannya pelaku merasa bahwa kehormatan keluarganya direndahkan oleh korban yang membawa pria lain ke dalam kamar kosnya. Pelaku juga mengaku kepada warga sekitar bahwa hubungannya dengan korban adalah suami istri, padahal Ketika dicari tahu oleh polisi ternyata pelaku dan korban tidak terdaftar dalam Kantor Urusan Agama (KUA). Kasus ini tidak hanya menjadi tragedi kemanusiaan yang menggugah rasa keadilan, tetapi juga membuka peluang untuk memahami faktor-faktor psikologis yang dapat memicu tindakan kekerasan ekstrem. Bagaimana perasaan sakit hati dan cemburu bisa berujung pada perbuatan keji seperti mutilasi? Untuk menjawabnya, kita perlu menggali lebih dalam menggunakan teori psikologi yang relevan, serta mencari solusi dari perspektif psikologis untuk mencegah kejadian serupa.
Teori Frustrasi-Aggresi dari Dollard et al., (1939) menyatakan bahwa frustrasi dapat memicu agresi, yaitu bentuk pelepasan dari perasaan terhalang dalam mencapai tujuan. Dalam kasus ini, pelaku mungkin merasa sangat frustrasi karena merasa dihina oleh korban dan cemburu dengan kehadiran pria lain dalam hidup korban. Frustrasi yang semakin menumpuk, akibat penghinaan terhadap keluarganya maupun ancaman terhadap hubungan pribadi, akhirnya memicu agresi ekstrem yang berujung pada tindakan mutilasi.
Walgito mengungkapkan bahwa bertambahnya usia individu seiring dengan bertambahnya kemampuan kontrol emosi serta tingkat kematangan emosinya. Namun merujuk pada pemaparan. pertambahan usia seseorang bertambah tidak selalu beriringan dengan matangnya kemampuan pengelolaan emosi, walaupun memang diharapkan bahwa kematangan emosi akan semakin baik jika dikaitkan dengan pertambahan usia seseorang. Individu dengan usia yang matang atau dewasa secara kronologis sangat mungkin untuk memiliki tingkat kematangan emosi yang rendah. Pertambahan usia dan tingkat kematangan emosi individu berjalan beriringan, namun individu yang matang secara usia dan fisik belum tentu secara otomatis matang secara emosi. Kematangan emosi menurut Yusuf ialah kemampuan bersikap toleran dan merasa nyaman dengan diri sendiri, serta kemampuan mengontrol diri dan memiliki perasaan menerima diri sendiri serta orang lain, dan juga kemampuan individu untuk mampu menyatakan emosi secara konstruktif sekaligus kreatif (Adila & Kurniawan, 2020).
Teori kekuasaan dan kontrol oleh Michael Johnson mengungkapkan bahwa dalam beberapa hubungan yang tidak sehat, kekerasan digunakan untuk mempertahankan atau merebut kembali kontrol. Pelaku yang merasa terhina atau dipermalukan oleh korban mungkin ingin menegakkan kekuasaannya dalam hubungan itu. Mutilasi korban dapat dilihat sebagai cara ekstrem untuk memulihkan kontrol atas hubungan yang terancam oleh tindakan korban. Perasaan cemburu yang mendalam dan sakit hati atas penghinaan terhadap keluarga pelaku bisa dipandang sebagai ancaman terhadap "harga dirinya," dan dengan demikian dia merasa perlu untuk mengembalikan kontrol dalam cara yang sangat destruktif.
Peningkatan Keterampilan Mengelola Emosi dapat menjadi solusi bagi pelaku karna mengajarkan individu untuk mengelola emosi secara sehat sangat penting untuk mencegah reaksi berlebihan terhadap perasaan frustrasi, cemburu, atau sakit hati. Pelatihan dalam manajemen emosi, seperti teknik relaksasi, mindfulness, dan regulasi emosi, dapat membantu individu mengatasi kecemasan dan perasaan negatif tanpa melampiaskannya dalam bentuk kekerasan. Serta pendekatan keluarga dan komunikasi interpersonal dimana melakukan pendekatan berbasis komunikasi yang sehat dalam hubungan keluarga. Mengajarkan keluarga untuk berkomunikasi dengan cara yang terbuka dan empatik dapat mengurangi perasaan terasing atau tidak dihargai yang bisa memperburuk ketegangan emosional. Terapi keluarga juga bisa menjadi solusi untuk meningkatkan hubungan dan mencegah eskalasi masalah menjadi tindakan kekerasan. Dari perspektif psikologi, penting untuk memahami bahwa kekerasan ekstrem seperti mutilasi berasal dari banyak sumber. Ini termasuk kombinasi dari dinamika hubungan yang tidak sehat, distorsi kognitif, dan ketidakmampuan untuk mengelola emosi. Kasus ini juga menunjukkan betapa pentingnya dukungan psikologis yang cukup bagi mereka yang mengalami ketidakamanan emosional dan hubungan yang penuh dengan ketegangan. Pendidikan emosional, keterampilan komunikasi yang sehat, dan terapi yang dapat membantu orang mengatasi rasa sakit, cemburu, dan frustrasi dengan cara yang lebih konstruktif diperlukan untuk mencegah kekerasan dalam hubungan.
Artikel ini disusun oleh Aisyah Azzahra, Zuhratul Hayati, Lova Alfa Riza dan Adelia Sinulingga. Dan disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Psikologi Perkembangan dengan dosen pengampu Ibu Puti Febrina Niko M.Psi.,Psikolog.
References
Harmpoko, S. (2025, Januari 27). Bukan Suami-Istri Siri, Hubungan Pelaku dan Korban Mutilasi Ternyata Hanya Selingkuhan. Retrieved from radarsampit.jawapos.com: https://radarsampit.jawapos.com/radar-utama/2345574905/bukan-suami-istri-siri-hubungan-pelaku-dan-korban-mutilasi-ternyata-hanya-selingkuhan
Santoso, A. B. (2019). Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Terhadap Perempuan: Perspektif Pekerjaan Sosial. KOMUNITAS Jurnal Pengabdian Masyarakat. doi: https://doi.org/10.20414/komunitas.v10i1.1072
Syamsuddin, S., & Sadik, M. (2024). TEORI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. www.jurnal.stainmajene.ac.id. Retrieved from https://www.jurnal.stainmajene.ac.id/index.php/sibaliparriq/article/view/1280