Ancaman Nyata AI di Dunia Desain: Bukan Mesin yang Mengganti, Tapi Desainer yang Malas
(Oleh: Didi Subandi | Sebuah Refleksi tentang Integritas Profesi)
Beberapa bulan lalu, saya mencoba Midjourney. Cukup mengetik, "perpustakaan kuno di dalam pohon raksasa, gaya Studio Ghibli," dan dalam hitungan detik, muncul gambar yang luar biasa. Perasaan saya bercampur aduk: setengah takjub, setengah lagi khawatir. Apakah ini akhir dari profesi desain yang telah saya tekuni bertahun-tahun? Kekhawatiran itu terasa nyata. Kita menghabiskan waktu bertahun-tahun mempelajari teori dan komposisi, tetapi kini hadir mesin yang mampu menghasilkan karya dalam waktu secepat membuat secangkir kopi.
Namun, setelah rasa panik mereda, saya mulai menyadari di mana ancaman sebenarnya. Dulu, saya pernah bekerja dengan klien sebuah kedai kopi yang ingin branding-nya terasa seperti "pelukan hangat di pagi yang hujan." AI mungkin dapat menghasilkan seratus logo cangkir kopi yang sempurna secara teknis, tetapi tidak satu pun yang mampu menangkap 'pelukan' itu. Desain yang berhasil justru terlahir dari sketsa tangan yang mungkin tidak sempurna, terinspirasi dari cerita emosional klien tentang kenangan dengan ayahnya.
AI adalah kolega yang sangat cepat dan sangat literal, tetapi ia tidak memiliki empati. Hal ini membawa kita pada pertanyaan penting: ancaman sebenarnya bukanlah AI itu sendiri, melainkan potensi kita untuk menjadi desainer yang malas. Jika kita berhenti bertanya "mengapa" sebuah desain harus ada tentang empati, cerita, dan jiwa dan hanya memilih "yang mana" dari opsi yang disodorkan AI, maka kita menyerahkan pikiran kita untuk menjadi sekadar operator mesin. Kita berisiko menjadi kurator estetika yang aman dan berulang, bukan lagi pencerita visual yang mampu menerjemahkan jiwa.
Pertanyaannya kini bukan lagi: "Apakah AI akan menggantikan kita?" Melainkan, "Akan menjadi desainer seperti apa kita dengan kehadiran AI?" Ini adalah peluang untuk membebaskan diri dari pekerjaan teknis yang monoton dan berfokus pada ide-ide besar, cerita yang mendalam, serta sentuhan ketidaksempurnaan yang indah hal-hal yang tidak bisa dihasilkan oleh algoritma. Profesi desain harus naik level, dari sekadar keahlian teknis menjadi pemimpin dalam empati dan storytelling..
Analisis Lengkap: Mengapa Pena Selalu Lebih Unggul dari Piksel, dan Bagaimana Desainer Harus Berevolusi (Baca Ulasan Mendalam Selengkapnya di Visualis.id)
Pena vs. Piksel Pertarungan yang Tak Pernah Ada Antara Desainer dan AI