Pendahuluan
Sejak disahkannya pada 18 Agustus 1945, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 telah menjadi fondasi filosofis, yuridis, dan moral bagi bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara bukan sekadar dokumen normatif, melainkan kompas yang menuntun arah pembangunan bangsa di tengah dinamika global.
Pembukaan UUD 1945 dengan tegas menekankan tujuan bernegara. Melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial (UUD 1945, Pembukaan).
Namun, memasuki abad ke-21, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan baru yang tidak pernah dibayangkan para pendiri bangsa. Era digital menghadirkan disrupsi sosial dan politik. Polarisasi akibat algoritma media sosial, ancaman privasi data, hingga munculnya teknologi kecerdasan buatan (AI) yang berpotensi menggantikan jutaan pekerjaan.
Menurut laporan We Are Social (2024), lebih dari 77% penduduk Indonesia aktif menggunakan media sosial, dan rata-rata menghabiskan waktu 3 jam 11 menit per hari. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu pengguna media sosial terbesar di dunia, dengan segala dampak positif maupun negatif yang menyertainya.
Di sisi lain, Indonesia juga menghadapi tantangan transisi energi, ketidaksetaraan ekonomi digital, serta rivalitas geopolitik global. Semua ini menuntut implementasi nilai Pancasila dan UUD 1945 yang kontekstual, adaptif, dan solutif. Dengan kata lain, membumikan Pancasila di era modern bukan lagi pilihan, melainkan syarat bagi kelangsungan bangsa.
Pancasila di Era Digital
Era digital membawa paradoks. Di satu sisi, teknologi membuka peluang besar bagi partisipasi warga, ekonomi kreatif, dan inovasi. Nilai gotong royong misalnya, dapat diwujudkan melalui kolaborasi digital seperti crowdfunding, platform UMKM, dan komunitas daring.
Namun di sisi lain, algoritma media sosial justru memunculkan polarisasi, echo chamber, dan disinformasi. Menurut Kominfo (2023), terdapat lebih dari 11.000 isu hoaks yang beredar di Indonesia sejak 2018, dengan mayoritas tersebar melalui Facebook, WhatsApp, dan Twitter/X.
Dalam konteks ini, Pancasila dapat dijadikan landasan etis bagi tata kelola ruang digital. Sila ke-3 (Persatuan Indonesia) menuntut agar ruang digital tidak menjadi ajang perpecahan, melainkan sarana memperkuat kohesi sosial.