Darurat baca pejabat hari ini menunjukkan betapa rapuhnya ekosistem intelektualitas di ruang kekuasaan. Padahal, founding parents republik ini adalah para pembaca tekun yang hidup dalam atmosfer perdebatan dan diskusi.
Di tengah derasnya arus informasi digital, pejabat publik tak sekadar dituntut untuk tekun membaca buku, tapi juga memperkuat ekosistem intelektualitas: Siapa teman diskusinya? Seberapa besar kualitas intelektual orang disekelilingnya? Perpustakaan publik yang kokoh, dan sebagainya.
Nampaknya, para pejabat publik kita semakin jauh dari ruang intelektual yang sesungguhnya. Alih-alih menunjukkan ketajaman berpikir melalui bacaan, diskusi, atau debat substantif, mereka lebih sibuk memamerkan kemewahan hidup yang dangkal.
Fenomena "flexing" dan lemahnya kemampuan public speaking pejabat yang beberapa waktu lalu ramai di media sosial bukan sekadar hiburan satir publik, melainkan alarm serius tentang kondisi darurat baca di kalangan pejabat negeri ini.
Padahal, negeri ini lahir dari tradisi intelektual. Bung Karno membangun gagasannya dari buku-buku Karl Marx, Hegel, hingga Ernest Renan.
Bung Hatta membawa koper penuh buku dalam pengasingannya di Banda Neira. Tan Malaka menulis Madilog dengan penuh dedikasi untuk membangun cara berpikir kritis bangsa.
Mereka adalah teladan bahwa intelektualitas lahir bukan dari glamoritas, melainkan dari perjumpaan dengan teks, ide, dan debat.
Bertolak belakang dengan situasi terbaru. Masih segar dalam ingatan publik, pasca gerakan Agustus yang lalu, aparat justru merespons dengan melakukan sweeping buku di sejumlah ruang publik dan komunitas literasi.
Penjemputan paksa aparat Kepolisian terhadap Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, dibarengi dengan penyitaan beberapa koleksi buku karya Pramoedya Ananta Toer, adalah contoh paling konyol dan menggelikan.
Dalihnya adalah menjaga stabilitas dan mencegah penyebaran ide yang dianggap mengancam negara.