MBG seharusnya menjadi tolok ukur kualitas pelayanan dan tanggung jawab pemerintah atau negara terhadap rakyatnya. Embel-embel "gratis" bukan berarti menerapkan standar minimalis, apalagi asal-asalan.
Peristiwa keracunan Makanan (Bergizi?) Gratis terus terjadi di berbagai daerah. Jumlah murid yang keracunan pun tidak bisa dibilang sedikit. Menurut data jumlahnya sekitar 5000 kasus keracunan anak.
Walapun demikian jumlah sebenarnya mungkin lebih dari itu mengingat pemerintah pada awalnya terkesan abai dan tidak tanggap terhadap laporan-laporan kejadian keracunan MBG. Bahkan, Badan Gizi Nasional dan sejumlah pejabat berdalih bahwa beberapa murid belum terbiasa mencecap makanan "enak".
Meski sejumlah bukti foto dan video memperlihatkan kondisi makanan yang tidak layak, seperti terdapat ulat, basi, komposisi dan porsinya yang tidak sesuai standar gizi, para pejabat enggan mengakui adanya masalah besar dalam pelaksanaan MBG. Bukannya segera melakukan evaluasi menyeluruh, tindakan-tindakan intimidasi justru dilakukan terhadap mereka yang melaporkan buruknya kualitas MBG. Murid dipaksa membuat video testimoni positif tentang MBG. Sempat pula beredar formulir pernyataan agar orang tua tidak protes atau menuntut kalau anaknya keracunan. Setelah viral formulir semacam itu kemudian ditarik.
Beragam alasan disampaikan oleh otoritas yang mestinya bertanggung jawab. Kepala BGN menyebut angka ribuan murid yang keracunan masih terbilang wajar. Terakhir, pejabat di suatu daerah melempar tanggung jawab dengan menyebut bahwa keracunan terjadi karena ahli gizinya masih fresh graduate. Belum lagi kabar yang sempat santer beredar bahwa food tray atau nampan MBG terkontaminasi zat non halal.Â
Sebuah ironi saat makanan yang diklaim bergizi dan bertujuan untuk mendukung kualitas nutrisi murid justru berisiko terhadap kesehatan dan keselamatan murid yang mengkonsumsi.Â
Pada saat bersamaan, MBG menghadirkan cobaan tersendiri bagi jalannya proses pendidikan. Â Keracunan MBG memaksa kegiatan belajar mengajar dihentikan. Guru dan sekolah mendapat beban tambahan karena harus menangangi murid-murid yang keracunan. Belakangan di beberapa tempat guru juga ikut menjadi korban keracunan MBG.
Mencermati permasalahan-permasalahan tersebut serta cara otoritas merespon dan menindaklanjutinya mengindikasikan lemahnya implementasi MBG. Disiplin pelaksanaan pada setiap tahapan mulai penyiapan, pengolahan, pengemasan dan, pendistribusiannya terkesan tidak diterapkan dengan baik. Penentuan menu, komposisi dan pemilihan bahannya pun dipertanyakan. Dengan sendirinya komitmen dan tanggung jawab pemerintah untuk melayani rakyatnya melalui program MBG menjadi diragukan.Â
Dalam beberapa kejadian ada kesan program makan gratis dijalankan secara gagap dan ala kadarnya. Asal murid makan, soal gizi tak terlalu diperhatikan.
Berangkat dari banyaknya catatan negatif tentang MBG yang digagas Presiden Prabowo ini menarik untuk diingat lagi sebuah dapur umum gagasan Tan Malaka. Memang skalanya tidak bisa dibandingkan. Program MBG melayani jutaan murid, sedangkan Dapur Umum Tan Malaka melayani "hanya" ribuan romusha.