Menurut pantauan Kumparan, kawasan permukiman Karet Tengsin di Jakarta Pusat, memperlihatkan pemandangan yang ironis pada Kamis (17/4/2025).
Dikelilingi oleh gedung-gedung pencakar langit megah di kawasan bisnis Sudirman, sebagian warga masih bertahan hidup di permukiman sederhana yang semakin sepi.
Banyak bangunan telah diruntuhkan untuk memberi jalan bagi pembangunan gedung-gedung baru, namun beberapa keluarga tetap bertahan di tengah perubahan pesat yang terjadi di sekitarnya.
Kontras ini bukan fenomena tunggal. Dilansir dari Kompas.com, di balik kemegahan gedung pencakar langit Sudirman dan Kuningan, masih banyak kawasan kumuh di Tanah Abang dan Waduk Melati.
Taman Sari di Jakarta Barat terbentang sebagai potret nyata permukiman kumuh di jantung ibu kota, dengan lorong-lorong sempit berliku, rumah-rumah berdesakan tanpa ruang terbuka, dan sanitasi yang tidak memadai.
Tambora, yang sejak periode 1990 menjadi jujugan para perantau, bahkan pernah tercatat memiliki kepadatan penduduk tertinggi di Asia Tenggara dengan 495 jiwa per hektar.
Gubernur Jakarta Pramono Anung, pada 15 Mei 2025 lalu, meninjau kawasan permukiman di RW 01 Kelurahan Menteng dan menyatakan komitmennya untuk menata 55 rukun warga kumuh sebagai program prioritas.
Peristiwa ini menandai pengakuan resmi Pemprov DKI Jakarta terhadap masalah permukiman kumuh yang telah berlangsung puluhan tahun di ibu kota.
Banyak kawasan kumuh masih menanti penanganan
Data Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) Jakarta mencatat, dari 445 RW kumuh yang teridentifikasi Badan Pusat Statistik pada 2017, baru 284 yang telah dibenahi hingga 2024 (Kompas).
Artinya, masih ada 161 kawasan kumuh yang menunggu untuk ditangani. Dilansir dari Antara, Statistisi Ahli Pertama BPS Kota Jakarta Utara mengungkapkan, Penjaringan memiliki lokasi permukiman kumuh terbanyak dengan 62 titik, disusul Cilincing dengan 24 wilayah kumuh.