Lihat ke Halaman Asli

Tutut Setyorinie

TERVERIFIKASI

Lifelong Learner

Cerpen | Kembali Pulang

Diperbarui: 1 Juni 2019   23:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: http://www.majelistausiyahcinta.com

Baca cerita sebelumnya di sini: Pertemuan di Ujung Penantian

Setahun sudah aku tinggal bersama mereka yang kupanggil orang tua. Ibu, wanita berusia empat puluhan ternyata merupakan seorang penulis. Ia menulis beragam kisah. Mulai dari kisah Utopia si Pesulap, hingga kisah Arama si pembunuh berantai. Terkadang ia juga membacakan kisahnya padaku dengan tangan direntangkan dan ekspresi yang sulit kutirukan.

Hingga aku ragu, apakah ia benar-benar hidup. Aku takut ia hanya sebuah kisah yang ditulis dalam diary dan ditiupkan roh oleh peri biru, seperti pinokio milik si Gepeto Tua. Namun ketika ia memanggilku, aku tahu ibu bukan sekedar kisah. Ia benar-benar hidup. Matanya yang selegam arang memancarkan ketegasan dan kasih sayang. Rambut hitamnya yang terurai, bagaikan bihun yang dimasak Ama sebagai santapan sahur, lembut dan sangat mudah diatur. 

Pengakuan Ama tentang asal-usulku tak merubah pandanganku terhadap mereka. Tak peduli bagaimana sikap mereka dahulu, kedua orang itu tetap orang tuaku. Lagi pula rumah ini terasa hangat, sama seperti bolu yang dibelikan Abah sebagai bekal untuk sekolah. 

"Selamat ulang tahun, Fitriku," sahut Ibu sambil membawa kue berhias dua buah lilin yang menyala.

Aku tersenyum untuk kemudian meniup lilin dan memeluknya. 

"Ibu membuatnya?" tanyaku penasaran.

"Apa kita bisa bertaruh untuk itu?" Ayah muncul dari belakang sambil mengecup keningku. "Apalagi yang bisa dimasak ibu selain kisah-kisahnya?" 

Kami tertawa bersama. Ibu memang tak pandai memasak. Setahun tinggal dengannya, paling jauh ibu hanya bisa memasak sup ayam dan sambal kentang. Ia juga tak jago membuat kue, atau memakai panggangan. Jika saja kata-kata bisa direbus dan disantap, mungkin ia sudah jadi chef handal yang diundang ke berbagai restoran mahal. 

Aku menyantap kue itu bersama mereka. Manis rasanya. Kata Ama, kue memang selalu terasa manis. Tapi Ama sendiri tidak menyukainya. Ama bilang rasa manis membuat giginya sakit. Sedangkan Abah lebih suka kue singkong dan ubi, itu lebih menyehatkan.

Ini adalah perayaan Fitri pertamaku bersama mereka. Fitri yang kuidam-idamkan selama bertahun-tahun. Namun masih saja ada yang kurang. Benar kata Abah, manusia memang tak pernah merasa puas. Tapi aku merinduinya sekarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline