Sebagai seorang food vlogger, saya pernah mendapatkan pertanyaan, "Gimana sih caranya ngasih ulasan yang jujur, tapi nggak bikin pelaku usaha jadi ciut nyali?"
Sebuah pertanyaan sederhana, tetapi jawabannya ternyata tak sesederhana gigitan pertama pada sepotong brownies kukus. Apalagi kalau yang dikunyah terasa alot, sementara yang masak ikut duduk di depan, menatap penuh harap. Dilema, bukan?
Pada ulasan kali ini, saya ingin berbagi pengalaman bagaimana menjadi reviewer yang tetap jujur tanpa perlu menjatuhkan pihak mana pun.
Sebab di balik setiap sepiring makanan yang kita coba, ada peluh dan harapan dari pelaku usaha, termasuk UMKM yang sedang bertumbuh. Maka, cara kita menyampaikan pendapat bisa menentukan apakah mereka makin semangat atau malah undur diri dari dapur.
Bagi saya pribadi, keunikan rasa adalah sesuatu yang subjektif. Apa yang di lidah saya terasa 'kurang nendang', mungkin bagi orang lain justru pas di hati.
Oleh karena itu, saya cenderung memilih diksi yang lebih lunak. Daripada berkata "tidak enak", saya lebih suka menyebutnya "rasa ini cenderung ringan" atau "butuh sedikit lebih kuat di bumbu."
Nggak bohong, tapi juga nggak bikin orang lain kapok usaha. Kita memberi ruang bagi pelaku usaha untuk memperbaiki diri, bukan untuk merasa disudutkan.
Serunya, ketika saya mereview produk UMKM, mereka justru sangat terbuka menerima masukan. Bahkan ada yang tanpa ragu langsung berkata, "Tulis aja apa adanya, Kak!" Dan jujur, saya salut sama keberanian mereka. Karena keberanian itu pula, saya merasa bertanggung jawab menjaga ulasan saya tetap membangun.
Kalau bisa, saya juga selalu sematkan media sosial mereka di review, biar makin nendang promosinya. Hitung-hitung, simbiosis mutualisme: mereka dapat exposure, saya dapat konten. Win-win-lah!
Objektif Itu Perlu, Tapi Jangan Lupa Empati