Sabtu sore. Sebuah kafe kecil di sudut kota, dulu mereka pilih karena jendelanya menghadap pohon flamboyan.
Catherine duduk di kursi yang sama seperti minggu lalu, punggung tegak, senyum sopan, tapi matanya tak lagi mencari.
Peter datang tepat waktu, seperti biasa. Membawa aroma kopi dan kebiasaan yang tak pernah berubah.
Mereka memesan kopi yang sama, duduk di meja yang sama, dan memulai obrolan yang... tidak pernah benar-benar dimulai.
"Aku lihat traffic makin padat ya sekarang," kata Peter.
"Iya. Mungkin karena akhir bulan," jawab Catherine, datar, seperti membaca cuaca.
Lalu diam. Lalu senyum. Lalu topik baru yang tidak menyentuh apa pun.
Obrolan mereka seperti jalanan yang sibuk tapi tak pernah sampai.
Tak ada pertanyaan tentang visi kerja.
Tak ada keberanian menyentuh nilai-nilai yang dulu mereka perjuangkan.
Hanya kata-kata yang menjaga jarak, bukan mendekatkan.
Di antara dua cangkir kopi dan satu meja kayu, mereka sedang menjaga sesuatu yang sudah lama kehilangan makna.
Dan kadang, keberanian terbesar bukan melanjutkan, tapi berhenti menjaga yang tak lagi jujur.
Catherine tak lagi merasa terjebak.
Ia mulai melihat bahwa kebisuan ini bukan kegagalan, melainkan tanda bahwa ia telah berubah.
Ia tak ingin mempertahankan ritme yang kosong.
Ia ingin pulang ke ritme yang jujur, berakar pada kejelasan dan tanggung jawab.
Dulu, mereka bicara sampai larut malam.
Tentang strategi, etika, dan sistem kerja yang sehat.
Catherine masih ingat saat Peter berkata:
"Aku tenang kalau kamu ikut rapat. Kamu tahu kapan bicara, kapan diam."
Tapi itu dulu.
Sekarang, Peter bicara agar tak ditanya.
Catherine mendengar agar tak kecewa.
Psikolog menyebut ini avoidant collaboration—dua orang yang dulu saling menguatkan, kini hanya berbicara di permukaan.
Percakapan bermakna dihindari. Keharmonisan dijaga, padahal yang dijaga hanya rutinitas.
Catherine mulai sadar:
Keharmonisan yang tak jujur bukan ketenangan.
Itu hanya cara halus menunda kejelasan.
Dan kejelasan adalah bagian dari integritas.