Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dari niat yang tampak mulia, memberi makan bergizi kepada anak sekolah dan kelompok rentan, agar tak ada lagi generasi yang tumbuh dengan perut kosong dan tubuh kekurangan gizi. Di atas kertas, program ini terdengar sempurna, manusiawi, menyentuh akar persoalan bangsa, dan seolah menjadi jawaban atas stunting yang tak kunjung tuntas.
Namun di balik jargon kemanusiaan itu, MBG menyimpan paradoks besar. Ia berdiri di atas ambisi politik yang begitu tinggi, dengan target lebih dari 80 juta penerima, tapi tanpa peta jalan yang matang. Ketika idealisme bertemu birokrasi yang terburu-buru, yang lahir bukan kebaikan, melainkan potensi bencana. Program yang mestinya mengenyangkan malah bisa mematikan, bukan karena niatnya salah, tapi karena pengawasan dan sistemnya dibiarkan longgar. Pemerintah berlari cepat menuntaskan target, sementara pengawasan keamanan pangan berjalan tersengal-sengal. Di lapangan, vendor dipilih tanpa uji kapabilitas, makanan disiapkan tanpa standar higienis, dan distribusi dilakukan dengan mental "yang penting jalan".
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan dengan tepuk tangan dan jargon kemanusiaan. Ia disebut sebagai terobosan besar dengan memberi makan bergizi kepada anak-anak sekolah, agar tak ada lagi generasi yang tumbuh dalam kelaparan dan kekurangan gizi. Namun beberapa bulan berjalan, idealisme itu berubah jadi ironi nasional. Program yang seharusnya menyelamatkan kini malah mencelakai.
Di Bengkulu, program ini menelan korban massal. 456 siswa dan 4 guru di Kabupaten Lebong mengalami keracunan setelah menyantap makanan MBG. Pemeriksaan Balai POM menemukan bakteri berbahaya di dalam sajian itu  bukan cuma sekadar "salah masak", tapi bukti bahwa standar keamanan pangan diabaikan. Beberapa dapur bahkan ditutup sementara karena kondisi kebersihan yang memprihatinkan.
Lalu, kalau program sebesar ini bisa gagal di level dasar seperti sanitasi dapur, apa yang sebenarnya diawasi pemerintah?
Di Jawa Barat, situasinya jauh lebih parah yaitu  1.333 siswa di Bandung Barat keracunan dalam dua gelombang. Di Garut, 657 pelajar jatuh sakit setelah makan menu MBG. Kementerian Kesehatan mencatat lebih dari 5.200 kasus keracunan di Jawa Barat saja, dan angka nasional menembus 8.600 anak di 17 provinsi per akhir September 2025.
Angka ini bukan "insiden kecil". Ini alarm keras bahwa program yang diklaim bergizi justru menjadi bom waktu kesehatan publik.
Tragisnya  semua pihak sibuk menyalahkan yang paling lemah, tukang masak, vendor kecil, atau bahkan cuaca. Padahal akar masalahnya bukan di dapur, tapi di sistem.
Ketika pengawasan hanya sebatas tanda tangan dan laporan kertas, ketika target politik lebih penting dari keselamatan anak, maka keracunan massal hanyalah konsekuensi yang menunggu giliran.
MBG seharusnya menjadi bukti kepedulian negara. Tapi yang terjadi malah sebaliknya: bukti bahwa kebijakan sosial kita sering dibangun dengan niat baik, tapi dijalankan dengan tata kelola yang bobrok.
Kita terlalu sering terbuai pada kata "gratis", seolah gratis berarti beres. Padahal di balik setiap nasi bungkus yang dibagikan tanpa pengawasan, tersimpan risiko racun yang bisa menelan nyawa.
Kalau mau jujur, yang paling layak disalahkan bukan programnya, tapi sistem dan pengawasan yang berjalan asal-asalan.
MBG bukan ide buruk. Ia lahir dari niat baik, tapi dibiarkan tumbuh di ladang birokrasi yang penuh rumput liar, administrasi yang lamban, pengawasan yang formalitas, dan pelaksana lapangan yang bekerja demi laporan, bukan keselamatan.
Sistemnya berjalan seperti mesin tanpa pengemudi  hanya digerakkan oleh target politik dan tenggat waktu. Pengawasan? Sekadar hadir di notulen rapat dan spanduk kegiatan. Tak ada kontrol mutu yang serius, tak ada verifikasi vendor yang transparan, dan tak ada tanggung jawab yang jelas ketika ratusan anak jatuh sakit.
Yang terjadi di Bengkulu dan Jawa Barat adalah cermin dari satu hal: negara lebih sibuk memastikan acara berjalan daripada memastikan makanan aman.
Selama laporan bisa disetor, selama foto kegiatan bisa diunggah, maka semua dianggap sukses. Padahal di balik foto anak-anak tersenyum memegang nasi kotak, ada ribuan tubuh yang mual, muntah, bahkan dilarikan ke rumah sakit.
Sampai kapan politik akan selalu jadi alasan dalam segala hal?
Setiap kali ada kegagalan, selalu ada kalimat pembenaran yang manis: "Ini bagian dari proses", "Programnya belum sempurna", atau "Kita sedang belajar". Padahal yang sedang dipertaruhkan bukan proyek, tapi nyawa manusia.