Satu hal yang sering luput dari perhatian para reviewer (termasuk food vlogger) adalah pengaruh besar yang mereka miliki atas keputusan konsumsi para pengikutnya.Â
Apa yang kita ucapkan di video atau tulis di ulasan bisa menentukan masa depan sebuah bisnis kuliner.Â
Terlalu pedas kritiknya, bisa-bisa bikin usaha orang lain 'panas dalam'. Ini bukan soal takut berkata jujur, tapi soal bagaimana menyampaikan kritik dengan penuh empati.
Objektif tetap harus menjadi prinsip utama. Kalau tekstur bakso kurang kenyal atau rasa sambal kurang pedas, sampaikan.Â
Tapi ingat, ada cara yang membuat kritik terdengar seperti masukan, bukan vonis.Â
Fokus pada deskripsi rasa, tekstur, dan pengalaman makan, bukan pada membandingkan dengan brand lain. Jangan sampai karena ingin terlihat kritis, kita malah menjatuhkan produk yang sebenarnya hanya butuh sedikit polesan.
Batasan paling penting yang saya pegang adalah menghindari kalimat yang menyudutkan atau membandingkan secara langsung dengan pesaing.Â
Cukup ceritakan pengalaman kita apa adanya, lengkap dengan plus dan minus, tanpa perlu memposisikan produk lain sebagai tolok ukur.Â
Setiap makanan punya ceritanya sendiri, dan tugas kita adalah menyampaikan cerita itu dengan jujur, bertanggung jawab, dan tentu saja, tetap ramah di lidah pembaca atau penonton.
Karena sejatinya, review makanan bukan cuma soal lidah kita yang merasa puas. Ini soal bagaimana kita jadi bagian dari ekosistem yang mendukung tumbuh kembang pelaku usaha kuliner.Â
Dan siapa tahu, dari ulasan kecil kita, ada UMKM yang naik kelas jadi legend di dunia kuliner. Kan, seru juga jadi saksi perjalanan mereka!