Lihat ke Halaman Asli

Salmun Ndun

Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Anak Nakal dan Barak TNI: Mendisiplinkan, Menghukum, atau Menyelamatkan?

Diperbarui: 10 Mei 2025   05:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input gambar: tcacope.okezone.com

ANAK NAKAL DAN BARAK TNI: MENDISIPLINKAN, MENGHUKUM, ATAU MENYELAMATKAN?

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Belakangan ini media sosial dan berbagai kanal berita diramaikan oleh kabar viral mengenai langkah terobosan yang diambil oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Di masyarakat, beliau populer dipanggil "Kang Dedi" karena gaya komunikasinya yang santai, dekat dengan rakyat, dan sering tampil dengan budaya Sunda seperti iket (ikat kepala) dan pakaian tradisional Sunda.

Input gambar: tribunnews,com

Kang Dedi juga sering dipanggil "Gubernur Konten" karena kemampuannya dalam memanfaatkan media sosial dan konten digital untuk berkomunikasi langsung dengan masyarakat. Dengan gaya komunikasi yang dekat dan seringkali menghibur, ia berhasil menciptakan konten yang relevan dan mudah diterima oleh berbagai kalangan, sekaligus menyampaikan berbagai kebijakan pemerintah dengan cara yang lebih kreatif. Salah satu kebijakannya dalam menghadapi masalah kenakalan siswa di wilayahnya, dengan keberanian mencoba pendekatan baru dengan menggandeng TNI untuk membangun kerja sama dalam mendidik siswa-siswa bermasalah melalui program pelatihan disiplin di barak TNI. Langkah ini memicu perdebatan publik: ada yang memuji keberanian pemerintah daerah mencari solusi di luar pendekatan pendidikan formal, namun tak sedikit pula yang mempertanyakan apakah pendekatan semi-militer ini tepat diterapkan pada anak-anak. Fenomena ini menarik untuk dikaji lebih jauh: apakah upaya ini semata untuk mendisiplinkan, atau justru berisiko menjadi bentuk hukuman yang berlebihan, bahkan apakah langkah ini justru bisa menyelamatkan masa depan para siswa yang selama ini dicap nakal?

Mengamati langkah Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bekerja sama dengan TNI dalam menangani kenakalan siswa bukan muncul begitu saja, melainkan berangkat dari keprihatinan mendalam terhadap meningkatnya kasus perkelahian, tawuran, penyalahgunaan narkoba, hingga bullying di kalangan pelajar. Selama ini, pendekatan disiplin yang diterapkan sekolah dinilai kurang efektif menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kesadaran pada siswa bermasalah. Situasi ini mendorong pemerintah daerah mencari terobosan baru yang lebih tegas namun tetap terarah. Sang Gubernur Dedi Mulyadi melihat potensi kerja sama dengan TNI sebagai cara membentuk karakter, kedisiplinan, dan jiwa nasionalisme siswa yang sulit diarahkan melalui jalur formal.

Dari perspektif pro, banyak pihak memandang langkah Gubernur Dedi Mulyadi menggandeng TNI sebagai terobosan berani yang patut diapresiasi. Sebab pendidikan formal sering kali tidak mampu menangani siswa bermasalah karena keterbatasan kewenangan sekolah dan kurangnya peran tegas dari keluarga. Sebagaimana muncul sebuah video yang beredar di media sosial semakin memanaskan perdebatan publik terkait program Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Dalam video tersebut, tampak seorang ibu yang dengan penuh emosi meminta Kapolri untuk menangkap Dedi Mulyadi karena dinilai telah membuat keresahan di masyarakat akibat kebijakan pengiriman siswa nakal ke barak TNI.  Menariknya, ibu tersebut secara paradoks justru memuji kebijakan itu sebagai sesuatu yang bagus dan bahkan berharap program serupa bisa diterapkan di Aceh. Video ini pun menuai beragam reaksi dari warganet, mulai dari yang menertawakan, mendukung, hingga yang mengkritik keras sikap ibu tersebut.

Efek pelatihan kedisiplinan di barak TNI diyakini dapat menempa mental anak-anak, menanamkan nilai tanggung jawab, kerja sama, dan rasa cinta tanah air. Para pihak yang mendukung langkah ini percaya bahwa pengalaman tersebut akan menjadi "tamparan sadar" bagi siswa yang selama ini sulit diarahkan, sekaligus menjadi cara untuk memutus siklus kenakalan yang berisiko mengarah ke tindakan kriminal.

Namun, di sisi lain, muncul perspektif kontra menyoroti berbagai kekhawatiran serius. Banyak pemerhati pendidikan dan psikolog anak menilai bahwa pendekatan semi-militer seperti ini rentan menimbulkan trauma psikologis, apalagi jika tidak disertai pendampingan yang memadai. Muncul anggapan bahwa anak-anak yang disebut "nakal" sejatinya butuh pemahaman, bimbingan emosional, dan pendekatan edukatif, bukan sekadar ditekan dengan disiplin ketat ala militer. Lebih jauh, bahwa memindahkan tanggung jawab pendidikan dari sekolah dan keluarga ke institusi seperti TNI bisa menciptakan preseden berbahaya yang mengaburkan peran masing-masing lembaga.

Dengan mencermati fenomena ini, sungguh telah mencerminkan betapa sensitif dan kompleksnya isu yang menyentuh dunia anak dan pendidikan. Kebijakan yang lahir dari niat baik, seperti yang diterapkan oleh Gubernur Dedi Mulyadi, ternyata dapat memantik interpretasi yang beragam di tengah masyarakat. Ini menunjukkan bahwa setiap langkah dalam dunia pendidikan tidak hanya membutuhkan pertimbangan matang, tetapi juga kesadaran akan dampak sosial yang bisa ditimbulkan, baik positif maupun negatif. Namun, penting untuk dicatat bahwa setiap kebijakan, harus selalu dipertimbangkan dampaknya secara mendalam. Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat memastikan bahwa mereka mendapatkan pembinaan yang sesuai dengan kebutuhannya, serta menciptakan perubahan positif dalam masyarakat.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline