Lihat ke Halaman Asli

Ribut Achwandi

pengembara kata

Pesantren di Mata Seorang Awam

Diperbarui: 15 Oktober 2025   05:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan santri, tapi sangat kagum pada pesantren (Sumber: dok.pribadi)

Jujur, saya akui, saya sangat awam tentang pesantren. Seumur hidup saya tak pernah bersentuhan dengan pendidikan ala pesantren. Padahal, saya tinggal di sebuah kelurahan yang dilingkupi lingkungan pesantren.

Anda mungkin bertanya-tanya, mengapa bisa begitu? Pertama, orang tua saya tak pernah mengenalkan pendidikan pesantren. Sejak SD hingga SMA, sekolah saya sekolah negeri. Begitu pula saat kuliah S1 dan S2.

Saya tak sempat menanyakan alasan Ibu memilih sekolah negeri. Hanya, saya menduga Ibu mengira sekolah negeri murah biayanya. Maklum, kondisi ekonomi keluarga kala itu pas-pasan. Lagi pula, Ibu adalah satu-satunya orang tua yang berjuang untuk menghidupi keluarga. Adik-adiknya dan saya.

Kedua, menurut Ibu, sekolah negeri dipandang menjanjikan kala itu. Paling tidak, Ibu punya harapan, kelak setelah mentas dari sekolah saya digadang-gadang akan menjadi seorang PNS. Atau, sekurang-kurangnya mudah untuk mencari pekerjaan. Betapa sederhana pikiran Ibu kala itu. Tetapi, saya maklum.

Alhamdulillah, setelah melewati proses belajar bertahun-tahun itu agaknya saya tak cukup mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Tetapi, sejatinya tidak serta merta hal itu disebabkan oleh status sekolah tempat saya belajar yang negeri itu. Ada hal-hal yang harus saya jalani. Termasuk, nyambi bekerja saat kuliah. Kerja serabutan di kota rantau.

Lain dari itu, erat pula kaitan dengan jejaring pertemanan. Kebetulan saat masih berstatus mahasiswa saya tercatat aktif berkomunitas. Khususnya, komunitas seni dan sastra.

Lewat komunitas itu saya mendapatkan kesempatan memperluas jejaring pertemanan. Beberapa di antara teman-teman saya merupakan senior awak media. Ada pula yang pengusaha.

Singkat kata, boleh dibilang saya adalah hasil didikan sekolah yang hanya minim pendidikan agama. Meminjam istilah seorang kawan, "sekolah sekuler". Maka, saya benar-benar asing dengan pesantren.

Saking asingnya dengan pesantren, saya sempat punya pandangan yang kurang baik tentang pesantren. Menurut saya, pesantren itu semacam pendidikan pinggiran. Bahkan, terkesan kampungan.

Betapa, pandangan saya waktu itu memperlihatkan kepongahan. Saya lebih membanggakan sekolah-sekolah saya yang negeri itu. Sekolah favorit pula!

Akan tetapi, rasa bangga itu rupanya meluntur pula seiring perjalanan waktu. Utamanya, ketika saya pulang kampung dan mencicipi dunia kampus sebagai seorang tukang kebun. Saya dipertemukan mahasiswa yang ternyata santri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline