Oleh: Muhammad Ihsan Syamsuddin/PDB 82/111251310/Universitas Airlangga
Baru-baru ini, Open AI meluncurkan Sora 2, sebuah inovasi yang melampaui kemampuan pendahulunya. Sora 2 bukan hanya alat pembuat video dari teks (text-to-video generator) yang menghasilkan klip ultra-realistis, melainakn juga sebagai platform media sosial berbasis AI penuh yang siap menantang dominasi TikTok. Fenomena ini menghadirkan sebuah pertanyaan etis yang mendalam: Apakah Sora 2 akan menjadi arena kreativitas baru atau justru menjadi malapetaka bagi privasi dan integritas kekayaan intelektual?
Saya berpendapat bahwa Sora 2 adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia adalah puncak kemajuan teknologi AI, tetapi di sisi lain, ia adalah mesin disruptif yang mengancam etika hak cipta karya dan memicu krisis kepercayaan atau trust issue dalam dunia digital.
Ancaman Hak Cipta
Aspek paling mengerikan dari Sora 2 adalah kemampuannya meniru gaya visual dan karya yang dilindungi hak cipta (copyright) dengan kualitas yang sangat mirip, sering kali hanya dengan perintah teks (prompt) sederhana. Sora 2 dapat dengan mudah menghasilkan video yang sangat menyerupai gaya animasi studio ternama (seperti Ghibli) bahkan meniru adegan dari anime populer, lengkap dengan pergerakan kamera yang presisi.
Kemampuan ini menimbulkan pertanyaan "Dari mana AI mengambil data pelatihannya?" Jika mesin tersebut dapat meniru karya sepersis itu, besar kemungkinan data yang digunakan untuk melatih model diambil tanpa izin yang jelas dari para kreator aslinya. Hal ini adalah tindakan pencurian, bukan lagi generasi murni. Ironisnya, karena ulah AI ini, hukum copyright akan semakin diperketat, yang pada akhirnya justru merugikan para ilustrator, fan-art creator, bahkan cosplayer.
Ancaman Privasi
Sora 2 juga menyediakan for you page seperti halnya TikTok yang berisi 100 % video AI. Bahaya utamanya terletak pada fitur seperti Sistem Cameo. Fitur ini memungkinkan pengguna untuk "meminjam" wajah orang lain---bahkan figur publik seperti CEO Open AI, Sam Altman---untuk membuat dialog yang sangat meyakinkan. Kemampuan ini adalah bom waktu bagi penyebaran berita palsu (fake news) dan hoaks video yang mustahil dibedakan dari rekaman asli.
Jika video AI ini dapat diunduh tanpa watermark dan tersebar di luar platform Sora 2, dunia akan memasuki era "dunia tipu-tipu" yang makin kencang. Kekhawatiran privasi, mulai dari penggunaan wajah orang tanpa izin hingga potensi penyalahgunaan yang merugikan, menjadi sangat nyata. Bahkan, saya sudah menemukan video hasil buatan Sora 2 di TikTok dan Instagram, dengan pengunggah menyensor/blur watermark Sora 2.
Penutup
Sora 2 adalah kemajuan yang tak terhindarkan. Namun, alih-alih merayakan teknologi ini secara buta, kita, sebagai pengguna dan kreator, harus secara aktif mendesak batasan etika yang jelas. Jika Sora 2 gagal mengimplementasikan sistem perlindungan IP yang kuat (seperti sistem Content ID YouTube), dan jika ia tidak membatasi fitur cameo yang melanggar privasi, maka statusnya sebagai sosial media akan lebih banyak membawa kerugian daripada manfaat.