Ada masa ketika bayangan tentang keluarga ideal terasa begitu sederhana, suami bekerja di luar rumah, istri mengurus anak dan dapur, semua tampak rapi dan sesuai jalurnya. Tapi zaman bergerak, dan pelan-pelan, peta peran dalam rumah tangga ikut bergeser. Kini, di banyak rumah, suara blender di pagi hari bisa datang dari tangan seorang ayah. Ia menyiapkan sarapan anak, mencuci baju, menjemput ke sekolah, dan kadang juga memegang daftar belanja lebih rapi dari istrinya.
Fenomena ini dikenal dengan sebutan bapak rumah tangga, istilah yang dulu mungkin terdengar ganjil, tapi kini makin sering kita dengar. Ia lahir dari banyak alasan, mulai dari kebutuhan ekonomi, pilihan karier pasangan, hingga kesadaran bahwa membesarkan anak adalah pekerjaan penting yang tak selalu harus dilakukan oleh perempuan.
Secara global, tren stay-at-home dad sebenarnya bukan hal baru. Di Amerika Serikat, misalnya, data Pew Research Center menunjukkan bahwa pada 2023 sekitar 17% ayah dengan anak di bawah usia 18 tahun memilih menjadi bapak rumah tangga. Alasannya beragam, mulai dari menghemat biaya pengasuhan hingga keputusan sadar untuk memberi waktu lebih bagi anak.
Di Indonesia, fenomena ini memang belum seterang di luar negeri, tapi mulai terlihat di kota-kota besar. Biasanya muncul di keluarga muda yang dua-duanya bekerja, lalu salah satu memutuskan mundur sementara dan ternyata yang mengambil langkah itu bukan sang istri.
Meski demikian, masyarakat kita masih diwarnai budaya patriarki yang menebalkan garis antara peran laki-laki dan perempuan. Dalam narasi lama, laki-laki adalah pencari nafkah, pelindung, dan simbol kekuatan keluarga. Maka, ketika peran itu bergeser, muncul rasa aneh, bahkan bagi sebagian perempuan sendiri. Perubahan sosial memang tidak selalu berjalan seiring dengan perubahan cara berpikir. Kadang, kenyataan sudah maju selangkah, tapi persepsi masih tertinggal beberapa langkah di belakang.
Dari Sudut Pandang Perempuan Karir
Perempuan karier yang ambisius cenderung memandang peran bapak rumah tangga dengan lebih terbuka. Bagi mereka, ini bukan soal membalikkan tradisi, tapi soal efisiensi dan pembagian tugas yang adil. "Selama semuanya berjalan baik dan kami saling mendukung, siapa melakukan apa bukan masalah," begitu kira-kira prinsip mereka.
Perempuan seperti ini biasanya berada di puncak kariernya atau tengah meniti jalur profesional yang menuntut banyak waktu dan fokus. Ketika pasangannya bersedia mengambil peran domestik, itu justru dianggap bentuk cinta yang matang, kemitraan yang benar-benar sejajar.
Namun, dukungan lingkungan tidak selalu semudah itu. Di balik sikap percaya diri, ada tekanan sosial yang kerap datang dari luar, komentar keluarga besar, pandangan miring tetangga, hingga godaan stereotip lama yang menilai "laki-laki kok di rumah?".
Mereka pun belajar untuk tegas bahwa definisi keluarga bahagia bukan ditentukan oleh siapa yang mencari nafkah, tapi oleh keseimbangan peran yang dijalankan dengan kesadaran.
Dari Sudut Pandang Perempuan Tradisional
Bagi sebagian perempuan yang tumbuh dalam budaya dengan peran gender yang jelas, ide suami menjadi bapak rumah tangga masih terasa janggal. Sejak kecil, mereka disuguhi gambaran ayah yang bekerja keras di luar rumah dan ibu yang mengurus urusan domestik. Maka, ketika peran itu ditukar, bukan hanya sistem yang bergeser tapi juga rasa aman yang selama ini mereka kenal.
Perempuan tipe ini tidak selalu menolak, tapi butuh waktu lebih lama untuk menerima kenyataan baru. Ada keraguan bagaimana nanti pandangan keluarga besar? Apa anak akan tetap menghormati ayahnya? Apakah ini berarti ada yang 'tidak beres'?
Namun, menariknya, banyak dari mereka yang akhirnya luluh setelah melihat hasilnya secara nyata. Ketika anak-anak tumbuh lebih dekat dengan ayah, ketika rumah terasa lebih hangat, atau ketika pasangan jadi lebih terbuka berbagi beban emosional, mereka mulai menyadari bahwa kekuatan seorang laki-laki bukan hanya di pundak yang kokoh, tapi juga di hati yang siap mendengarkan.
Penerimaan sering kali bukan datang dari argumen, tapi dari pengalaman. Dan dari sanalah, pelan-pelan muncul kesadaran baru bahwa menjadi pelindung keluarga bisa berarti banyak hal, termasuk melindungi waktu, kebersamaan, dan ketenangan di rumah.