Mohon tunggu...
Alfidiya Faiz
Alfidiya Faiz Mohon Tunggu... Guru Bahasa Indonesia

Saya seorang lelaki biasa yang lahir di Pati, Jawa Tengah sebagai bungsu dari tiga bersaudara. Berstatus kepala keluarga dengan tiga malaikat kecil, sebagai pelengkap kebahagiaan nyata. Dalam keseharian, saya mengabdikan diri sebagai guru PNS di SMK Negeri 1 Klaten, Jawa Tengah. Takdir memberi saya anugerah langkah: berkeliling ke pelosok negeri sebagai bagian dari SM3T, guru penggerak, pengajar praktik, dan fasilitator pendidikan di daerah 3T, menyaksikan langsung potret lanskap pendidikan Indonesia dalam segala warna dan tantangannya. Saya kerap mengasosiasikan diri sebagai pemimpi kepagian, pendidik kesiangan, pendongeng kesorean, dan penulis kemalaman. Prinsip hidup saya sederhana namun berharap makna, seperti kecap dan kerupuk: bukan yang utama, namun keberadaan menjadi pelengkap dalam sajian rasa. Kecintaan pada dunia tulis dimulai ketika saya terpaut pada karya-karya Joko Pinurbo, hingga akhirnya memberanikan diri menapaki jejak pena. Kesempatan menjadi juri FLS3N kian meneguhkan langkah saya. Saya menulis puisi, esai, dan resensi; beberapa telah terbit di media daring, antologi bersama Balai Bahasa, serta prossiding ilmiah. Tahun 2022 menjadi tonggak lahirnya “Katamata”, buku antologi puisi pertama saya. Kini, dengan semangat yang sama, saya tengah mempersiapkan karya kedua berjudul “Pintu, Jendela, dan Atap”—sebuah perjalanan kata yang terus bertumbuh, seperti hidup yang tak pernah berhenti bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Saat Menegur Jadi Salah dan Pelanggaran Dianggap Lumrah

15 Oktober 2025   08:56 Diperbarui: 15 Oktober 2025   11:39 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar Guru dan Siswa Merokok

SMA Negeri 1 Cimarga kini gaduh bergema, asap rokok jadi bara pemantik cerita yang tak biasa. Seorang kepala sekolah berupaya menegakkan tata, namun justru dituduh salah langkah, seolah wibawanya banyak celah. Ketegasan ditegakkan, tapi yang menegakkan dipersalahkan.

Antara tegas dan kasar seolah menjadi garis tipis seorang pendidik. Kasus yang terjadi di SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten pada tanggal 10 Oktober menjadi potret getir dunia pendidikan. Kepala sekolah, Dini Fitria menegur keras seorang siswa yang tertangkap merokok di area sekolah. Namun dugaan adanya tamparan membuat teguran itu berbalik arah. Isu dugaan tindakan kasar tamparan merebak. Video peristiwa menyebar cepat, memicu riuh hardik, niat mendidik dan batas etik pun kembali diuji di ruang penghakiman publik.

Menjadi kepala sekolah dan ASN bukan sekadar soal jabatan administratif, tetapi panggilan moral dan tanggung jawab sosial. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dengan tegas menyebut, setiap aparatur negara wajib menjaga integritas, menegakkan disiplin, dan menjadi teladan bagi masyarakat. Begitu pula Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menuntut agar guru bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik, membimbing, menilai, dan menjaga martabat peserta didik.

Di balik semua aturan yang tampak jelas di atas kertas, terdapat garis batas yang sangat tipis antara "tegas" dan "keras." Dalam praktiknya, satu tindakan disiplin bisa ditafsirkan sebagai bentuk pembinaan tapi di sisi lain, bisa pula dianggap pelanggaran kekerasan. Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 bahkan menegaskan bahwa anak di satuan pendidikan berhak mendapat perlindungan dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikis, termasuk dari pendidik. Di titik inilah dilema seorang kepala sekolah atau guru sering muncul: ketika niat mendidik ditafsirkan sebagai kekerasan, dan ketika teguran yang bertujuan membentuk karakter justru berbalik menjadi tuduhan.

Berdasarkan interpretasi makna, sebenarnya jelas: guru boleh memberi konsekuensi, selama itu tujuannya memperbaiki bukan melukai. Sayangnya, praktik di lapangan tak sesederhana yang dibayangkan. Ketika guru menegur keras, ia bisa dilaporkan dan saat memilih apatis, ia disebut mengabaikan. Dalam dilema seperti itu, banyak pendidik akhirnya memilih diam, bukan karena tidak peduli, tapi karena takut disalahpahami. Maka jangan heran, pelanggaran kecil perlahan jadi kebiasaan besar. Padahal, tanpa disiplin, karakter hanya tinggal jargon tanpa pemaknaan.

Kasus Cimarga menunjukkan paradoks tajam dalam dunia pendidikan kita. Kepala sekolah yang menegur pelanggaran justru disanksi, sementara siswa yang merokok tak langsung mendapat konsekuensi. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS mengatur bahwa penjatuhan sanksi kepada ASN harus mempertimbangkan niat, konteks, dan dampak perbuatannya. Bila tindakan itu dilakukan untuk menjaga wibawa sekolah, maka seharusnya prosesnya dimulai dari pembinaan, tabayyun, dan klarifikasi, bukan langsung penghakiman sendiri dari birokrasi.

Kebijakan yang reaktif terhadap tekanan publik justru menimbulkan efek domino yang berbahaya. Penonaktifan kepala sekolah seperti memberi pesan tersirat: "Silakan melanggar, sebab bila guru menegur, ia yang akan digampar." Sikap semacam ini perlahan akan menumbuhkan normalisasi pelanggaran. Terlebih, ketika sebagian orang tua mulai mendewakan anaknya dan menempatkan sekolah hanya sebagai tempat penitipan belajar akademik, bukan lagi ruang pembentukan karakter terdidik. Akibatnya, disiplin kian tumpul, dan wibawa pendidik perlahan kehilangan maknanya.

Organisasi guru jangan hanya sibuk mengurusi iuran, lalu lupa pada kewajiban moral pendampingan. Dalam pusaran polemik seperti ini, semestinya organisasi keguruan terutama yang besar dan berpengaruh hadir memberi arah dan cahaya secercah. Di mana suara mereka? Mengapa tak terdengar kejelasan advokasi, padahal Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Guru dan Dosen menjamin hak guru atas perlindungan hukum, sosial, dan profesi. Seharusnya organisasi guru menjadi benteng nilai sekaligus penjaga marwah profesi, mengambil peran nyata memberikan pendampingan hukum dan psiklogis, membimbing anggotanya dan menjadi mediator antara guru dan pemerintah. Kenyataannya, banyak guru merasa sendirian ketika menghadapi tekanan, Ironisnya, justru keperpihakan warganet yang lebih dulu muncul, memberikan dukungan spontan saat organisasi resmi memilih diam. Apakah benar hanya sibuk di kas, tapi absen di kasus?

Diperlukan jalan tengah, tegas bermakna dalam mendidik dan lembut yang memanusiakan. Pendidikan tidak boleh menjadi dalih untuk kekerasan, namun juga tak seharusnya menormalisasi pelanggaran. Keduanya harus berjalan beriringan, kedisiplinan tanpa kekerasan, dan perlindungan anak tanpa kebablasan. Sebab pendidikan bukan soal memilih antara keras atau lembut, melainkan soal menemukan keseimbangan yang bermakna.

Pemerintah perlu memperkuat pelatihan disiplin positif bagi guru dan kepala sekolah, agar tegas tetap manusiawi. Organisasi keguruan pun harus berbenah, bukan sekadar menagih iuran, tapi menjadi pelindung etik, hukum, dan psikologis bagi para pendidik. Masyarakat pun seyogianya menahan diri untuk tidak menghakimi satu sisi, sebab pendidikan adalah ruang pembentukan nilai, bukan panggung sensasi.

Jangan biarkan wibawa guru runtuh, hanya karena satu tamparan dijadikan tuduh. Jangan biarkan siswa merasa paling benar, ketika pelanggaran dianggap wajar. Kepala Sekolah Cimarga hanyalah cermin dari sistem yang rapuh karena zaman, di mana ketegasan disalahartikan, dan niat baik dianggap salah karena kekerasan. Peristiwa ini, semestinya melahirkan kesadaran baru, bahwa pendidikan tidak bisa berdiri di atas ketakutan, melainkan harus tumbuh dari keadilan dan kepercayaan. Guru perlu ruang untuk menegakkan nilai, sebagaimana siswa berhak mendapatkan perlindungan diri dan hati. Keduanya bukan musuh, melainkan dua sisi yang saling melengkapi dalam proses belajar menjadi manusia yang utuh. Sudah saatnya pendidikan menegakkan dua pilar abadi, keadilan bagi siswa, dan perlindungan bagi pendidiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun