Pagi itu matahari baru saja muncul di balik bukit. Udara terasa segar, suara ayam bersahutan dari kandang di belakang rumah. Prison membuka pintu kandang kecil itu dengan hati gembira. Puluhan anak ayam berwarna kuning berlarian ke arahnya, mematuk makanan yang ia taburkan. Ia tersenyum puas.
Dari belakang, Ayahnya, Ibnurudin, datang sambil membawa ember berisi air. Ia menatap anak sulungnya dengan bangga.
"Prison," katanya lembut, "mulai hari ini, ayam-ayam ini tanggung jawabmu. Rawat baik-baik, ya. Hasilnya nanti bisa kamu pakai untuk sekolah. Ini bukan sekadar ayam, Nak, ini amanah."
Prison mengangguk mantap. Ia merasa seperti sedang diberi kepercayaan besar. Sejak hari itu, setiap pagi dan sore, ia memberi makan, membersihkan kandang, bahkan kadang berbicara pada ayam-ayam kecil itu seolah mereka teman.
Namun, tak semua kisah indah bertahan lama.
Hari yang Paling Gelap
Suatu pagi, Prison bangun lebih awal dari biasanya. Tapi aneh, tak ada suara ayam yang biasa menyambut. Ia berlari ke kandang dengan dada berdebar. Begitu pintu kandang dibuka, tubuhnya langsung lemas.
Anak-anak ayam itu tergeletak diam. Beberapa masih berusaha bergerak lemah, tapi kebanyakan sudah tak bernyawa.
"Tidak... jangan..." bisiknya. Ia berlutut, memeluk seekor anak ayam yang dingin di tangannya.
Air matanya menetes membasahi bulu-bulu kecil yang sudah kaku.