Semarang, 7 Oktober 2025 — Lima mahasiswa Universitas Negeri Semarang melakukan wawancara eksklusif dengan Duta Damai Jawa Tengah untuk membahas isu perdamaian di Indonesia serta berbagai cara yang dapat dilakukan generasi muda dalam dalam Membangun Kesadaran Perdamaian dan Pencegahan Terorisme.
Kegiatan wawancara tersebut berlangsung pada Senin (22/9) dan Selasa (23/9) di Universitas Negeri Semaeang. Dalam kesempatan itu, para mahasiswa menggali pandangan dan pengalaman dalam menjalankan program-program yang bertujuan menumbuhkan budaya damai di kalangan masyarakat, terutama di dunia digital.Dalam upaya memahami akar permasalahan dan strategi pencegahan terorisme di Indonesia, sekelompok mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Semarang melakukan wawancara dan observasi bersama Duta Damai BNPT Jawa Tengah. Kegiatan ini menjadi ruang dialog yang terbuka dan reflektif untuk membahas isu terorisme dari berbagai sisi, mulai dari faktor agama, politik, ekonomi, psikologis, teknologi, hingga peran keluarga dalam membangun ketahanan sosial.
Dari hasil wawancara, peerwakilan Duta Damai mengungkapkan bahwa terorisme bukan hanya persoalan ideologi atau agama, tetapi merupakan hasil dari akumulasi berbagai faktor sosial dan psikologis yang kompleks. Banyak individu yang terjerumus dalam paham radikal karena merasa terasing, kehilangan arah hidup, atau mencari makna baru yang salah kaprah. Ketika rasa kecewa terhadap lingkungan, pemerintah, atau masyarakat tidak tersalurkan dengan sehat, doktrin ekstrem bisa tampak seperti jalan keluar.
Faktor ekonomi sering kali menjadi pintu awal seseorang mudah terpengaruh ajakan kelompok radikal. Kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial dapat menciptakan rasa ketidakberdayaan yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dengan janji kesejahteraan semu. Namun demikian, ekonomi bukan satu-satunya penyebab. Beberapa pelaku teror justru berasal dari latar belakang yang mapan, tetapi memiliki kerentanan psikologis dan sosial.
Dari aspek politik dan ideologi, perwakilan Duta Damai menjelaskan bahwa isu-isu politik atau agama sering dipelintir menjadi bahan propaganda untuk membenarkan tindakan kekerasan. Mereka menegaskan pentingnya literasi ideologi dan pendidikan perdamaian agar masyarakat, terutama generasi muda, mampu berpikir kritis terhadap narasi kebencian yang beredar di media sosial.
Dari sisi psikologis, wawancara menunjukkan bahwa pelaku teror sering kali memiliki motif emosional yang dalam, seperti rasa dendam, kehilangan, atau kebutuhan untuk diakui. Dalam kondisi tersebut, individu menjadi rentan terhadap pengaruh ideologi radikal yang menjanjikan kepastian dan “tujuan mulia.” Para Duta Damai menekankan pentingnya dukungan psikologis dan lingkungan sosial yang sehat agar individu tidak mudah terjerumus dalam ekstremisme.
Kemajuan teknologi juga menjadi faktor penting yang dibahas. Media sosial kini bukan hanya sarana komunikasi, tetapi juga ladang subur bagi penyebaran paham radikal. Propaganda, video manipulatif, dan ajakan bergabung ke jaringan ekstrem banyak tersebar secara masif. Oleh karena itu, literasi digital menjadi langkah kunci untuk membentengi masyarakat dari pengaruh radikalisasi online.
Selain itu, peran keluarga dianggap sangat vital. Dari hasil observasi dan diskusi, keluarga yang hangat, terbuka, dan komunikatif dapat menjadi benteng pertama dalam mencegah paparan radikalisme. Pola asuh yang keras, tertutup, atau penuh tekanan justru bisa membuat anak merasa tidak dimengerti, sehingga mudah mencari validasi dari kelompok luar yang menyesatkan.
Perwakilan Duta Damai juga menjelaskan bahwa BNPT terus berupaya melibatkan masyarakat luas, termasuk tokoh agama, akademisi, dan mahasiswa, dalam program deradikalisasi dan pencegahan terorisme. Melalui kegiatan edukatif, kampanye digital, serta pelatihan berbasis komunitas, Duta Damai berperan aktif menyebarkan nilai toleransi dan perdamaian di kalangan muda.
Dari hasil wawancara dan observasi tersebut, mahasiswa Psikologi UNNES mendapatkan pemahaman yang lebih dalam bahwa pencegahan terorisme tidak cukup hanya dengan penegakan hukum. Diperlukan sinergi antara aspek psikologis, sosial, pendidikan, dan teknologi untuk menciptakan lingkungan yang damai dan resilien terhadap paham ekstrem.