Peristiwa yang terjadi pada Hari Disabilitas Internasional, ketika Menteri Sosial Tri Rismaharini meminta—atau bisa dikatakan memaksa—anak-anak penyandang disabilitas untuk berbicara di depan umum, membuat saya sebagai warga negara merasa terusik secara moral. Tindakan itu, meski mungkin diniatkan sebagai bentuk perhatian, justru tampak menyakiti dan merendahkan martabat mereka yang seharusnya dirayakan dalam keberagaman kemanusiaannya. Alih-alih memberi ruang aman untuk berekspresi, anak-anak ini malah ditempatkan dalam situasi yang membuat mereka tidak nyaman, bahkan mungkin merasa malu atau tertekan. Dan ini terjadi di depan publik.
Bagi saya, sikap tersebut sangat kurang manusiawi. Anak-anak itu—Aldi dan Anfil—bukanlah objek pertunjukan yang bisa diminta tampil dan bicara sesuai permintaan siapa pun, apalagi oleh seorang pejabat negara. Mereka adalah manusia seutuhnya dengan hak, perasaan, dan batasannya sendiri. Menyuruh seseorang yang memiliki gangguan komunikasi untuk bicara di depan umum tanpa alat bantu, lalu memaksanya dengan tekanan verbal, adalah bentuk kekerasan yang tak kasat mata. Kekerasan ini mungkin tidak menyisakan luka di tubuh, tetapi bisa menorehkan trauma dalam hati dan pikiran anak-anak itu.
Jika kita melihat dari sudut pandang filsafat moral, tindakan ini bertabrakan dengan prinsip dasar etika yang diajarkan oleh banyak pemikir besar. Immanuel Kant, misalnya, menekankan bahwa setiap manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri. Tidak ada satu pun individu yang pantas diperlakukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan orang lain—termasuk untuk menunjukkan empati di depan kamera atau publik. Ketika anak-anak ini didesak bicara demi memberi kesan bahwa pemerintah hadir, maka secara tidak sadar mereka sedang dijadikan simbol, bukan subjek yang dihargai utuh sebagai manusia.
Jean-Paul Sartre, dalam pemikiran eksistensialismenya, menekankan pentingnya kebebasan individu untuk menentukan cara dia hadir di dunia. Tindakan memaksa anak autistik yang kesulitan bicara untuk menyampaikan sesuatu di depan umum, berarti mengingkari kebebasannya sebagai makhluk eksistensial. Ketika dia diam, itu adalah bentuk ekspresinya. Diam bisa jadi adalah caranya berbicara. Kita, yang tidak berada dalam tubuh dan pikirannya, tidak berhak mengubahnya sesuai keinginan kita sendiri, apalagi dengan tekanan sosial.
Di saat yang sama, kita juga bisa melihat kejadian ini melalui sudut pandang etika kepedulian—sebuah pendekatan moral yang tidak hanya berfokus pada aturan atau hasil, tetapi pada relasi, empati, dan konteks manusiawi. Dalam etika ini, kita dituntut untuk mendengarkan dengan hati, memahami situasi seseorang secara mendalam, dan mengambil keputusan berdasarkan cinta kasih, bukan ego atau kebutuhan panggung. Sayangnya, momen yang seharusnya menjadi ruang aman bagi para penyandang disabilitas, justru menjadi panggung yang menampilkan ketidaksensitifan.
Apakah Risma memiliki niat buruk? Mungkin tidak. Tapi dalam konteks moral, niat baik saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah kepekaan dan kerendahan hati untuk memahami apa yang dirasakan orang lain, terutama mereka yang lebih rentan. Tidak semua bentuk kepedulian itu tepat sasaran, apalagi jika diwujudkan dalam bentuk yang tidak memberi ruang pada kenyamanan orang lain.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, para pejabat publik perlu mendapatkan pelatihan empati yang bukan hanya bersifat teoritis, tapi benar-benar menyentuh hati. Mereka harus diajarkan bagaimana berinteraksi dengan kelompok rentan secara manusiawi, bukan sekadar mengikuti prosedur protokoler. Kedua, peringatan Hari Disabilitas Internasional semestinya tidak dijadikan panggung pertunjukan, melainkan ruang dialog dan pemberdayaan yang digagas bersama penyandang disabilitas itu sendiri. Libatkan mereka sejak awal, beri mereka kuasa untuk memilih cara tampil, atau bahkan untuk tidak tampil sama sekali.
Ketiga, dalam acara-acara publik yang melibatkan anak-anak atau penyandang disabilitas, harus ada kode etik yang jelas—sebuah pedoman moral dan teknis yang melindungi hak, kenyamanan, dan keselamatan psikologis mereka. Kehadiran mereka bukan untuk memuaskan ekspektasi publik, melainkan untuk memperlihatkan bahwa masyarakat ini menerima dan menghargai keberagaman dengan cara yang benar.
Peristiwa ini seharusnya tidak hanya menjadi bahan kontroversi sesaat, tapi momentum refleksi. Kita sebagai masyarakat, pemerintah, dan individu harus jujur pada diri sendiri: apakah kita sudah benar-benar memahami arti inklusivitas? Apakah kita sungguh-sungguh mencintai dan menghormati sesama manusia yang berbeda kondisi dengan kita, atau hanya sekadar ingin terlihat peduli?
Filsuf John Rawls pernah menulis bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari struktur sosial. Dalam masyarakat yang adil, yang paling rentan harus mendapatkan perhatian paling besar. Jika anak-anak disabilitas masih harus menanggung rasa malu dan tekanan di hari yang seharusnya menjadi milik mereka, maka jelas kita belum adil. Kita belum dewasa dalam bernegara, dan belum sepenuhnya bijaksana dalam memperlakukan sesama.
Michel Foucault mengingatkan kita bahwa kekuasaan bisa bekerja secara halus, melalui cara berpikir dan praktik sosial yang tampaknya biasa, tapi sesungguhnya menekan. Dalam kejadian ini, kita bisa melihat bagaimana kekuasaan hadir dalam bentuk tekanan halus yang terselubung dalam bahasa kasih sayang, tapi sebenarnya penuh paksaan. Kita tidak boleh mengabaikan bentuk-bentuk kekerasan yang tidak terlihat—karena luka batin tak kalah menyakitkan dibanding luka fisik.