Perjalanan waktu di sayap barat Museum Maritim, di mana ombak masa lalu masih berbisik di balik kaca.
Selesai salat di lantai atas, saya kembali ke beranda museum dengan lantai kaca yang berkilau. Kunjungan resmi segera dimulai. Kami dibagi dua kelompok; Tajir Melintir ke sayap kiri, Crazy Rich ke kanan --- dan setengah jam kemudian kami akan bertukar jalur.
Sebelum masuk, pemandu ( sebut saja Mbak Keiza) menjelaskan bahwa museum ini berdiri pada 2018, namun gedungnya sudah ada sejak awal 1920-an dan sempat direnovasi pada 1958. Dari balik kaca, tampak lantai asli bangunan tua itu, kini ditinggikan karena area ini kerap terendam banjir rob.
Begitu melangkah ke sayap barat, kami disambut panel besar bertuliskan "Peta Migrasi Austronesia." Peta ini menelusuri perjalanan manusia dari Taiwan lima ribu tahun lalu menuju Filipina, Jawa, hingga Pasifik dan Madagaskar. Garis-garis di peta itu tampak berdenyut hidup---seakan menghidupkan kembali napas para pelaut yang menyeberangi samudra hanya berbekal bintang dan arah angin.
Mbak Keiza, pemandu kami, menjelaskan teori "Out of Taiwan", tentang asal-usul bangsa penutur Austronesia. Ia mencontohkan kesamaan kata di berbagai bahasa, Misalnya mata, langit, putih, hitam---ternyata mirip dengan bahasa Tagalog di Filipina. Saya tersenyum kecil; membayangkan satu kata yang menyeberangi lautan ribuan kilometer, membawa makna yang sama di setiap pantai yang disinggahinya.
Tak jauh dari sana, dipamerkan model perahu bercadik yang menjadi warisan teknologi pelayaran Austronesia. Dua lambung rampingnya dihubungkan balok melintang, lengkap dengan layar putih yang seakan siap menangkap angin masa lalu. Mbak Keiza menjelaskan bahwa perahu cadik bukan sekadar alat transportasi, melainkan simbol kecerdikan manusia Nusantara membaca laut---perpaduan ilmu, naluri, dan keberanian yang membuat mereka mampu menjelajahi samudra luas.
Saya menatap lama replika kecil itu. "Mungkin seperti inilah perahu yang membawa kata mata dan puti sampai ke Hawaii," batin saya.
Nama perahu itu Hokule'a, dari bahasa Hawaii berarti "Bintang Kegembiraan." Replikanya dibangun di Hawaii pada 1975 untuk membuktikan bahwa pelaut Polinesia kuno memang mampu menaklukkan Samudra Pasifik tanpa kompas dan peta---hanya berbekal pengetahuan membaca bintang, arus, dan gelombang.
Kami kemudian berhenti di depan nekara perunggu, gendang sakral dari masa purba. Ketika Mbak Keiza menepuknya pelan, bunyinya berat dan dalam, seperti gema yang menembus ruang waktu. Ia menjelaskan bahwa nekara digunakan dalam upacara dan perayaan, bahkan sebagai alat tukar di beberapa kepulauan. Ukirannya---berpola bintang dan lingkaran---memancarkan kisah tentang doa, hujan, dan restu dari langit. Saya dan beberapa teman tidak mau ketinggalan mencoba menabuh gendang itu.