Aku masih ingat, dulu waktu SMA, bawa skincare ke sekolah aja rasanya kayak bawa barang terlarang.
Kalau ada teman yang lihat, langsung keluar komentar klasik:
"Wah, sok cantik banget sih!" Padahal niatnya cuma biar muka nggak kusam kena sinar matahari waktu upacara di pagi hari. Lucunya, saat itu skincare seperti rahasia besar.
Kita sembunyi-sembunyi cuci muka pakai facial wash di wastafel, pura-pura nggak tahu kalau wajah teman sebelah makin glowing karena dia juga pakai produk yang sama.
Kenapa harus sembunyi? Karena waktu itu, merawat diri masih dianggap sesuatu yang "berlebihan".
Masa SMA: Skincare Itu Dosa Sosial
Di dunia seragam abu-abu putih, semuanya terasa sama. Tampil beda sedikit entah pakai lip balm berwarna, sunscreen, atau bedak tipis langsung jadi bahan sindiran. Ada guru yang spontan menegur, “Bedaknya tebal, ya?” atau teman yang bilang “Ih, centil banget!” bahkan ada yang sampai disuruh hapus make-upnya di depan kelas dengan micellar water.
Bagi cewek, merawat diri dianggap centil. Bagi cowok, malah dicap banci kalau ketahuan pakai sunscreen.
Padahal, semua itu cuma bentuk kepedulian terhadap diri sendiri.
Tapi begitulah masa SMA: opini teman dan guru bisa terasa seperti hukum sosial yang tak tertulis.
Akhirnya banyak yang memilih diam. Skincare disembunyikan di laci meja, dipakai diam-diam, dan kalau ditanya kenapa wajah kinclong, jawabnya unik banget:
"Enggak ah, nggak pakai apa-apa Cuman pakai air wudhu aja kok."
Padahal setiap malam rajin maskeran pakai lidah buaya dan skincare-an lemgkap, dan baca review produk di Youtube sebelum tidur.